Lihat ke Halaman Asli

Nur Alawiyah

There is no elevator to success. You have to take the stairs.

"Pasar, Mall, dan Tempat Wisata Aja Buka, Sekolah Kok Masih Diliburkan?"

Diperbarui: 23 Juli 2020   20:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Mungkin, orang-orang yang sedang membaca berita di beranda Instagram, Youtube, Kompas, Twitter ataupun Facebook hampir bosan atau bahkan muak, mendengar lagi-lagi yang ditemui oleh pendidikan Indonesia adalah pembelajaran online lagi.

Tak sengaja, saat saya sedang lewat berjalan kaki tepatnya tadi pagi hendak menuju ke Sekolah, karena walau siswa-siswi diliburkan, gurunya tetap datang mengajar daring di Sekolah. Saya tak sengaja mendengar ibu-ibu yang sedang belanja berkerumun membeli nasi uduk sayup-sayup kudengar pembicaraan mereka.

Salah satu kalimat yang kutangkap adalah mereka tengah membicarakan anak-anaknya yang harus belajar via online. Namun, yang menjadi masalah adalah salah satu keluhan yang salah satu dari ibu itu berucap, "Anak saya dua, dua-duanya belajar online. Kerjaannya harus megang hp, mana punya saya beliin anak saya dua-duanya hp". 

Jika dapat saya katakan, ironi, sepertinya, miris juga. Ditengah kota Jakarta masih ada orang tua yang kesulitan membelikan kedua anaknya gawai untuk mendukung sarana prasarana pembelajaran si anak. Cerita itu, hanya salah satu dari sekian banyaknya yang bahkan lebih memprihatinkan jika saya baca curhatan tetangga-tetangga orang tua si pengguna akun Twitter yang ia cuitkan di Twitternya.

Berbagai pro dan kontra tak terhindarkan, kala seorang pengguna Twitter mengunggah foto tiga orang adiknya memakai seragam sekolah SD tengah fokus di depan laptopnya masing-masing. Ia menuliskan tweetnya, lucu melihat penampakan baru di rumahnya.

Tidak ada yang salah awalnya, hingga akhirnya kolom komentar ikut dibanjiri dengan cuitan pengguna Twitter lainnya menceritakan keadaan yang lebih memprihatinkan dari itu. Adu kecepatan komentar pro dan kontra pun tak tehindarkan.

Nyatanya, mau disangkal bagaimanapun, mau dibenarkan dan terus berdalih 'ambil sisi positifnya' dari pandemi, namun lagi-lagi yang lebih banyak tersorot adalah keluhan juga dampak yang terus melanda menyulitkan masyarakat.

Ya, tadi pagi, saya membaca sebuah email masuk dari Kompas mengenai kabar terus meningkatnya jumlah korban/pasien covid19 yang ada di Indonesia bahkan mengalahkan negara China. Negara yang dikabarkan menjadi asal-muasal virus ini melanda seluruh penjuru negeri dunia. Lagi-lagi ironi, miris saya membacanya. 

Kegiatan mengajar di Sekolah yang dilakukan via daring, saya membuat sebuah Google Form untuk dijawab oleh para siswa, sebuah pre-test pengantar sebelum membahas materi pembelajaran. Salah satu pertanyaan yang saya sisipkan adalah kesan singkat para siswa terkait pembelajaran selama pandemi ini berlangsung.

Dan saya mendapati jawaban siswa-siswi di Sekolah yang saya ajar memiliki jawaban yang beragam. Sebagian menjawab kegiatan belajar jadi sangat tidak efektif, dengan jujur ia menuliskan bahwa ia jadi lebih sering buka Google ketimbang paham dengan apa yang guru jelaskan. Penjelasan guru di kelas dengan tatap muka saja, terkadang mereka juga tidak paham, apalagi hanya melalui belajar di Whatsapp.

Memang, pembelajaran yang dilakukan di Sekolah yang saya ajar media utamanya adalah mengandalkan Whatsapp. Namun, ada juga guru lainnya yang rajin membuat sebuah video penjelasan di IGTV milik Instagram agar siswa paham dengan pelajarannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline