Jumat, 4 November 2016. Aksi damai ummat muslim sebagai bentuk gerakan sosial dalam menuntut upaya pemerintah secara intensif untuk menegakkan pancasila sebagai pedoman dasar keberlangsungan bernegara. Hal itu disebabkan kasus yang menimpa seorang tokoh politik yang menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahya Purnama atau yang kerap disebut Ahok. Sikapnya yang cenderung intoleran dalam memaknai ummat beragama khususnya ummat muslim, dengan menyinggung dalil atau ayat dalam kitab suci ummat muslim, dengan mencoba untuk menjustifikasi atas pendapatnya yang berkaitan tentang karakteristik pemimpin dalam perspektif ummat muslim. hal itu menyebabkan adanya probabilitas terjadi gelombang protes ummat beragama terbesar dalam sejarah Indonesia.
Hal itu juga berdampak besar pada institusi politik. Unjuk rasa yang terjadi melibatkan ummat muslim diseluruh penjuru Indonesia yang tidak terima atas perlakuan ahok dalam menilai bahwa kitab suci (Al-Quran) sebagai pedoman sakral ummat muslim terdapat miskonsepsi. ummat muslim menuntut upaya pemerintah untuk mengadili Basuki Tjahya Purnama (Ahok) sebagai bentuk kesungguhan pemerintah dalam meng-intensifkan pancasila sebagai pedoman dasar bernegara. "Kemanusiaan yang Adil dan juga Beradab dalam menjunjung Keadilan dan Kesejahteraan Sosial." poin pokok dalam pancasila sebagai pedoman dasar yang harus dikonsolidasikan selama berlangsungnya Indonesia sebagai bentuk Negara.
Kasus yang menjadi pemikat terjadinya polarisasi politik di Indonesia belakangan ini. Kemarahan ummat muslim terhadap sikap pemerintah yang tidak tanggap dalam menyikapi kasus yang sedang terjadi dan terlihat sikap pemerintah yang cenderung tendensius dalam menangani nya menyebabkan gelombang protes atau unjuk rasa yang terjadi. dari 411 hingga 212 sebagai aksi unjuk rasa yang bersifat "damai" tahap kedua yang dilakukan oleh ummat muslim di Monas, Jakarta.
Dimulai dari protes ummat muslim pada 2016 hingga politik elektoral yang cenderung konfrontatif terjadi pada 2019 dan bahkan hingga kini, menuju kontestasi elektoral pemilu 2024 dampak pengaruh dari peristiwa 411 dan 212 masih terasa hangat untuk diperbincangkan. Tahun-tahun yang menjadi titik kritis dan mengubah situasi perpolitikan Indonesia secara singkat dan berkesinambungan hingga sekarang.
Ini bukan yang pertama kalinya terjadi dalam sejarah Indonesia. Hubungan antara gerakan dan partai telah mengubah tatanan politik Indonesia. Dimulai dari tokoh agama dan para intelektual politik, masing-masing membentuk aliansi dalam pembentukan partai. Terdapat golongan yang Nasionalis, dengan perspektif ide pokoknya dalam mempertahankan kedaulatan bangsa, terdapat juga golongan yang agamis, dengan ide pokok yang terkandung dalam nilai-nilai agama, terdapat juga golongan sosialis, dengan ide pokok komunalitas, masyarakat dengan kepentingan bersama.
Semua golongan bergerak dan mempengaruhi tatanan struktural sosial masyarakat sebagai upaya pemantik simpati rakyat terhadapt golongan tersebut. oleh karenanya gerakan seringkali menjadi "jangkar" kunci dalam transformasi sistem partai. tidak jarang gerakan ini mendorong pemerintah atau presiden untuk membuat perubahan besar dalam institusi Indonesia, dikarenakan mereka memiliki dampak pengaruh dengan membawa perubahan yang besar dalam tatanan sosio-politik. Bahkan mereka juga dapat menentukan arah ataupun arus persaingan demokratisasi dalam budaya politik di Indonesia.
Terdapat kecenderungan secara terus-menerus dalam melihat interaksi ini (antara gerakan dan negara). Dimulai dari gelombang pertikaian pada era kemerdekaan (orde lama) sampai dengan orde baru dan "gerakan sosial baru" yang terus berlangsung hingga kini, membuat para ahli gerakan seakan menyimpulkan bahwa partai-partai adalah institusi konservatif rewel yang perlu diteliti secara terpisah dari gerakan. tetapi sebagian karena keadaan politik Indonesia yang retak saat ini, pemisahan antara penelitian partai dan gerakan ini mencapai titik jenuh. Hal ini selaras dengan perspektif Sosiolog Donatella Della bahwa keretakan seperti ini sebagian dapat dijelaskan dengan munculnya "partai-gerakan" partai yang berjalan selaras dengan gerakan itu sendiri.
Dalam eksplorasi, saya mendapatkan cara bagaimana gerakan dan partai politik berinteraksi. Dalam periode seperti ini, konflik institusional dan non-institusional saling bersinggungan, masyarakat komunal yang telah memasuki kehidupan publik melalui gerakan (sosial) tertarik ke dalam partai. dan partai-partai mengubah pijakannya seraya mencoba untuk merangkul isu-isu baru sembari mencari pendukung (masyarakat) baru. Hasilnya adalah menanamkan politik institusional dengan hasrat dan berujung kembali pada perpecahan daripada struktur gerakan politik itu sendiri. Sebagaimana yang dikatakan oleh Antropolog David F Aberle sebagai gerakan sosial transformatif (transformative social movement). "Sebagai gerakan untuk mentrasformasikan tatanan sosial itu sendiri, dimana para anggotanya memiliki kehendak dalam mengubah tatanan sosial masyarakat menjadi tatanan yang lebih baik menurut versi mereka." Dan juga Bagus Takwin, dalam konteks gerakan (sosial) ;
"ideologi seringkali digunakan sebagai dasar bagi upaya pembebasan manusia, dalam hal ini ideologi memiliki pengertian sebagai sekumpulan gagasan yang menjadi panduan bagi sekelompok manusia dalam bertingkah laku mencapai tujuan tertentu. Dengan cara menurunkan gagasan-gagasan ideologi menjadi sejumlah kerangka aksi dan aturan-aturan tindakan, sekelompok manusia bertindak membebaskan diri dari sesuatu yang dipersepsikan sebagai kekangan atau penindasan. Ideologi memberi arah bagi gerakan pembebasan, serta menjadi keyakinan bagi kelompok tersebut."
Adapun cara proaktif bagi gerakan dalam berinteraksi dengan partai adalah melalui pemilu. Gerakan dapat memperkenalkan bentuk aksi kolektif yang dapat mempengaruhi kampanye pemilu, dan mereka dapat bergabung pada koalisi elektoral. Dalam hal ini terdapat studi kasus seperti; dalam konteks kasus yang sebelumnya dipaparkan terkait dengan gerakan aksi 411 dan 212 ummat muslim dalam menopang keyakinannya dengan berunjuk rasa dalam batasan-batasan koridor tertentu yang berkonotasi sebagai "aksi damai" walaupun gerakan ini tidak bertransformasi sebagai partai politik, namun gerakan ini justru memiliki dampak yang lebih besar dalam keberlangsungan perpolitikan di Indonesia, Polarisasi politik tidak bisa dihindari, Distingsi diantara masyarakat juga tidak bisa dihindari.
Golongan aksi 411 dan 212 cenderung memilih sosok yang islamis dan turut berkampanye dengan aktor politiknya, hal tersebut menjadi faktor lahirnya intrik politik di Indonesia, Politik Identitas khususnya (Agama) menjadi bulan-bulanan bahan dialektik sekaligus debat kusir para aktor politik di Indonesia, hal ini berakhir pada konflik dan disintegrasi bagi Indonesia. Indonesia termasuk kelabakan dalam menangani permasalahan ini, oleh karenanya ini menjadi titik kritis dalam Perpolitikan Indonesia hingga saat ini. Dalam upaya menjaga nilai-nilai multikultural di tengah masyarakat yang plural Indonesia (Pemerintah) justru bingung dalam memposisikan dirinya. Semua aktor (pemerintah) berlagak moderat, dituntut sesuai dengan cara dan kepentingannya. Oleh karenanya bukanlah menjadi sosok yang solutif namun justru provokatif.
Jika kita membahas proaktif secara substansial maka hal itu tidak akan terlepas dari yang namanya reaktif. Dimana aksi gerakan mempengaruhi pemilihan dan partai dalam konteks "gerakan kontra" hal ini bisa berupa organisasi ataupun kelembagaan, memiliki probabilitas mengarah pada sifat yang cenderung radikal. sebagaimana studi kasus dalam konteks ini seperti; "Partai Rakyat Demokratik" dimulai dari gerakan mahasiswa pada era orde baru yang dihadapkan oleh tindakan represif dari aparat, dan kebijakan membatasi aktifitas politik mahasiswa diberlakukan. maka pencarian akan format baru bagi mahasiswa sendiri dalam menyusun gerakan merupakan sebuah keharusan.