Pengangkatan seorang mayor TNI aktif sebagai Sekretaris Kabinet (Seskab) di Kabinet Merah Putih menimbulkan kontroversi karena melibatkan posisi penting yang biasanya ditempati oleh pejabat sipil. Meskipun Kementerian Sekretariat Negara dan jabatan Sekretaris Kabinet memang berada di bawah presiden, status mayor TNI tersebut sebagai prajurit aktif menimbulkan berbagai pertanyaan terkait netralitas jabatan, peran militer dalam pemerintahan sipil, serta potensi benturan kepentingan.
Beberapa pihak mengkhawatirkan bahwa penunjukan ini bisa melanggar prinsip reformasi TNI yang berusaha menjaga pemisahan antara peran militer dan politik. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa mayor tersebut dapat memainkan peran profesional dalam membantu presiden tanpa perlu melepaskan status militernya, dengan catatan tetap mematuhi prinsip-prinsip demokrasi dan transparansi.
Terkait penunjukan prajurit TNI aktif ke jabatan sipil seperti Sekretaris Kabinet (Seskab), regulasi yang ada di Indonesia sebenarnya sudah cukup jelas melalui beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang status prajurit dan jabatan sipil, termasuk Pasal 47 dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Regulasi ini dibuat untuk memastikan adanya pemisahan yang tegas antara fungsi militer dan sipil, yang merupakan bagian penting dari reformasi TNI setelah era Orde Baru.
Dalam Pasal 47 ayat 1 UU TNI, disebutkan bahwa prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Ketentuan ini bertujuan untuk memastikan adanya pemisahan yang jelas antara peran militer dan sipil dalam pemerintahan.
Dengan aturan ini, seorang prajurit yang masih aktif tidak diperbolehkan menduduki jabatan sipil, kecuali jika mereka telah resmi mengundurkan diri dari dinas militer atau memasuki masa pensiun. Pemberlakuan aturan ini juga penting untuk menjamin bahwa pejabat sipil yang diangkat memiliki loyalitas penuh terhadap pemerintahan yang demokratis, tanpa pengaruh dari hierarki militer yang bersifat komando.
Kemudian dalam Pasal 47 Ayat (2) disebutkan bahwa terdapat pengecualian yang memungkinkan prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan tertentu di lembaga-lembaga strategis negara yang terkait dengan keamanan dan pertahanan. Beberapa jabatan tersebut berada di kantor-kantor yang membidangi:
- Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara
- Pertahanan Negara
- Sekretaris Militer Presiden
- Intelijen Negara
- Sandi Negara
- Lembaga Ketahanan Nasional
- Dewan Pertahanan Nasional
- Search and Rescue (SAR) Nasional
- Narkotika Nasional
- Mahkamah Agung
Pengecualian ini diberikan karena jabatan-jabatan tersebut erat kaitannya dengan keamanan dan pertahanan negara, di mana keahlian dan latar belakang militer dianggap sangat relevan. Kehadiran prajurit aktif di lembaga-lembaga ini diharapkan dapat mendukung fungsi strategis dalam menjaga stabilitas nasional.
Namun, di luar posisi-posisi tersebut, prajurit aktif tidak diperbolehkan menduduki jabatan sipil lainnya tanpa terlebih dahulu mengundurkan diri atau pensiun. Hal ini bertujuan untuk tetap menjaga keseimbangan antara peran militer dan sipil serta mencegah adanya intervensi militer dalam pemerintahan sipil.
Hal ini ditegaskan kembali dalam Penjelasan Pasal 47 ayat 2 yang menekankan bahwa jabatan yang dapat diduduki oleh prajurit aktif tidak termasuk jabatan Menteri Pertahanan atau jabatan politis lainnya. Artinya, prajurit aktif hanya diperbolehkan menduduki posisi di lembaga-lembaga strategis yang berkaitan langsung dengan keamanan dan pertahanan negara, seperti yang telah disebutkan dalam ayat tersebut, tetapi mereka dilarang menjabat posisi politis, termasuk Menteri Pertahanan.
Penjelasan ini memperjelas batasan bahwa jabatan politis, seperti posisi menteri atau jabatan di ranah pemerintahan yang lebih bersifat politis, harus dipegang oleh figur yang netral dari militer aktif. Prinsip ini dirancang untuk mencegah militer aktif terlibat dalam politik praktis, menjaga demokrasi, dan menghindari militerisasi jabatan-jabatan politik dalam pemerintahan sipil.
Dengan adanya penjelasan ini, ketentuan tersebut menegaskan bahwa prajurit aktif harus tetap menjaga batas antara peran militer dan politik, serta memastikan bahwa intervensi militer dalam urusan politik tidak terjadi.