Lihat ke Halaman Asli

Menikah itu "Deal" Paling Rumit

Diperbarui: 12 Agustus 2015   04:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Artikel: "Cinta adalah sesuatu yang harus diselesaikan, a problem to solve. Mau tak mau, semuanya harus dimulai sesegera mungkin/Kompas Female 

 

Saya banyak mendengar cerita kisah hidup teman-teman dalam perjalanannya menuju alam pernikahan. Sebuah proses panjang yang luar biasa menguras emosi, materi dan waktu. Di zaman ini, rasanya mustahil, atau kalaupun ada sedikit sekali pasangan yang sekali ketemu langsung klop tanpa beban masa lalu. Setiap hati pasti punya cerita sendiri, yang membedakan hanyalah sebagian menceritakannya, sisanya menguburnya dalam-dalam.

Si lelaki A yang saya kenal memiliki komitmen, terbentur dengan kenyataan bahwa calon mertuanya tidak merestui karena alasan ekonomi. Namun perempuannya memilih tetap bertahan, begitupun teman saya. Beberapa tahun berlalu, kini mereka menikah dan kabar terbaru saya dengar si Istri sedang hamil.

Si perempuan B yang saya kenal lincah, komunikatif serta mandiri, rupanya menyimpan beberapa catatan kelam yang tidak mampu dihapusnya. Dia menceritakannya datar tanpa emosi, sedikit senyum pemanis agar nampak tak terlalu serius. Setelah beberapa tahun berlalu, dia masih sibuk menenangkan hatinya

Si lelaki C saya kenal setia, komitmen tinggi dan cukup mampu mengendalikan nafsu di era seks bebas seperti sekarang memiliki cerita yang lebih ekstrim. Dia sudah beberapa kali ditinggal nikah pacarnya, terakhir dengan temannya sendiri. Saat menceritakan ini, kami membahasnya 2X24 jam tanpa tidur, karena memang waktu itu kami sama-sama lama tidak bertemu.

Si perempuan D pernah menumpahkan cerita pribadinya, mungkin orang akan menyebutnya aib. Kami tak sengaja memiliki waktu yang sama. Senyum dan keceriaanya hanya fatamorgana, kenyataanya dia menyimpan cerita pahit soal penghianatan, keperawanan dan kekerasan. Putus baginya adalah kerugian sekaligus kemerdekaan. Tapi air mata yang mengalir tanpa henti itu menyadarkan saya bahwa: seharusnya saya tidak tau soal ini. Bahu kanan kuberikan, untuk menyandar sejenak. Kini dia sudah menikah.

Si lelaki E berbeda lagi, pernah dia datang dengan dalih kangen. Padahal saya merasa bukan teman tebaiknya. Setelah lama cerita dari ujung utara ke selatan, akhirnya dia menumpahkan sesaknya. Dia menikah karena 'kecelakaan'. Sebuah raut stress yang berhasil membuat saya maklum mengapa dirinya selama beberapa tahun terakhir menjauh dari keramaian sosial media.

Si perempuan F sudah tak terhitung berapa kali menceritakan kisah cintanya. Di balik ledekan terhadap saya yang tak pernah sekalipun menunjukkan perempuan pengisi kekosongan hati, calon pendamping atau apa lah namanya, ternyata ada kisah yang lebih menyesakkan. Dia menjalin hubungan sekian tahun namun sampai sekarang belum jelas kapan akan melangsungkan pernikahan. Atas nama kesetiaan dia bertahan.

Kisah-kisah tersebut saya dengar langsung dari yang bersangkutan. Bukan mengada-ngada. Semua adalah teman-teman yang mungkin mereka menganggap saya cukup tenang menghadapi kegundahan. Ada juga yang terang-terangan menilai bahwa saya tak pernah 'bermasalah' dengan hati, jadi kesimpulan dan komentar saya masih murni tentang keseimbangan nalar serta naluri. Padahal? Haha setiap hati punya ceritanya sendiri.

Selain mereka ini, sebenarnya masih banyak cerita teman-teman lainnya yang nampak tertatih sebelum menyelesaikan 'permainan' dan berakhir di pelaminan. Intinya, sampai sekarang saya tidak menemukan cerita perjalanan yang mudah. Semuanya melewati proses panjang dengan sedih dan gembira. Masalah penerimaan, penyesalan dan pertimbangan membuat saya merenung sangat dalam tentang taqdir.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline