Lihat ke Halaman Asli

Jokowi, Ketika Beda Sama dengan Salah

Diperbarui: 14 Juli 2015   14:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Presiden Jokowi sering membuat heran banyak orang. Sebagian menganggap bahwa beliau tidak pantas menjadi Presiden. Fadli Zon sudah secara terbuka mencaci pemerintah dengan dua istilah, sirkus dan warung kopi.

Saya sangat setuju bahwa memang tidak biasa rakyat sipil dan bukan pimpinan partai bisa menjadi Presiden di republik ini. Kurus, tidak ganteng, ndeso, dan logat kental. Semua kriteria ini jauh di luar persepsi masyarakat tentang pejabat yang biasanya gagah atau setidaknya gemuk dan logatnya nasional. Namun semua faktor tersebut pasti enggan dipermasalahkan karena secara otomatis menunjukkan rendahnya kualitas berpikir seseorang.

Ada kriteria sangat berbeda dan ketara yang tidak biasa dilakukan oleh Presiden RI. Berikut ini beberapa hal yang sering menjadi titik kritik yang digunakan untuk membodoh-bodohi masyarakat.

1. Tidak merencanakan secara matang. Semua orang tau bahwa Jokowi dalah tipe Presiden yang sangat responsif. Dari begitu banyak agenda kepresidenan, beliau masih punya waktu untuk mendengar suara rakyat dan meresponnya dalam sebuah kebijakan.

Pengungsi Sinabung dan korban lumpur Lapindo yang terlantar sejak zaman SBY langsung mendapat respon dari Jokowi. Grasi tahanan Papua juga langsung diberikan. Terpidana narkoba yang dibiarkan tanpa kejelasan dan menumpuk tanpa respon pada zaman SBY juga langsung dijawab oleh Jokowi.

'Penyakit' tidak merencanakan secara matang ini pun sempat mendapat point negatif. Contoh saja saat BBM langsung dinaikkan dan diturunkan tanpa persetujuan DPR. Perpres anggaran kendaraan yang kemudian ditarik kembali dan JHT yang minta direvisi dalam hitungan hari. SBY pun pernah mencabut perpres berobat gratis pejabat, namun karena DPR dikuasai pemeritah, semua sepakat bungkam dan rakyat hanya fokus menuntut, bukan mencaci dan mengatakan tidak pantas seperti sekarang. Kalau sekarang pimpinan DPR sendiri yang secara tersirat mengatakan bahwa Jokowi tidak pantas menjadi Presiden (pemerintahan warung kopi).

2. Tidak politis. Dosa selanjutnya adalah Jokowi menjawab tanpa perencanaan. Apa yang ada di pikirannya saat itu, itulah yang dijadikan jawaban pada insan pers. Jadilah jawaban apa adanya "saya tidak baca Perpres yang itu" membuat media sosial riuh.

Salahnya lagi, Jokowi tidak seperti mantan Presiden sebelumnya yang tidak mau diwawancarai langsung oleh wartawan. Di manapun Jokowi berada, beliau selalu mau menjawab apapun pertanyaan wartawan, termasuk pertanyaan tidak penting seperti "sudah makan belum Pak?" Tapi nilai positifnya beliau begitu dekat dengan wartawan yang juga rakyatnya.

Sekilas ini agak mengkhawatirkan. Para pengamat menganggap hal seperti ini tidak perlu terjadi dan Presiden tidak boleh salah lagi. Tapi begitulah Jokowi, saat saya diundang ke istana, beliau bercerita bahwa memang kenyataanya tidak semua berkas dibaca oleh Presiden. Sebab ada banyak sekali berkas, kalau harus dibaca semua maka beliau hanya akan duduk di kantor sepanjang hari membaca berkas dan menandatanganinya.

Jawaban spontanitas dan tanpa kemasan itu memang sangat-sangat tidak biasa. Jika dibandingkan dengan Presiden sebelumnya, saya sangat setuju ini adalah kesalahan. Namun saya lebih bangga memiliki Presiden yang mau spontan menjawab, tidak seperti Pak Mantan yang 'batal' datang ke Kick Andy karena beliau tidak mendapat bocoran pertanyaan yang akan diajukan. Atau tanyakan saja pada Pak Mantan, saat beliau mencabut perpres berobat gratis pejabat, saya yakin beliau juga tidak baca. Tapi apakah beliau jujur? NO. Tentu saja itu momentum untuk meningkarkan elektabilitasnya dan menjawab "saya mendengar suara rakyat."

3. Rendahnya penyerapan anggaran. Ini adalah dosa paling mudah diterima logika rakyat sebagai kesalahan fatal. Jika jawaban spontanitas dan tanpa perencanaan masih sangat bisa diampuni atau bahkan diapresiasi, namun tidak untuk masalah rendahnya penyerapan anggaran. Hal ini bisa digunakan sebagai senjata oleh para elit untuk menemukan pembenaran bahwa Jokowi lemah dalam kepemimpinan, gagal, tidak bekerja maksimal dan sebagainya

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline