[caption caption="Gili Labak Sumenep"][/caption]
Alan Budiman No 60
Apa yang kalian pikirkan saat mendengar nama pulau Madura? Sate, jamu kuat, kerapan sapi, celurit, kumis, primitif, imigran, daerah terpencil dan apa lagi? Semuanya benar. Namun bukan hanya itu. Di pulau ini ada beberapa pulau kecil dengan pasir putih dan air laut sebiru Maldives dan tambang gas yang setiap hari dikeruk tapi tak ada yang tau, tak peduli. Jalan protokol masih seantik dulu. Berlubang, sempit dan bergelombang. Tapi yang paling khas adalah tanpa lampu penerang.
Kalian tau kenapa? Karena keturunan kyai di pulau ini lebih sakti dari ijazah professor sekalipun. Jika pulau ini terus menjadi anak tiri provinsi, mungkin sampai Jokowi gemukpun pulau ini akan tetap antik dan purba. Para pemimpin sibuk mengurusi istri istri mudanya. Mau mengurusi daerah? Mereka hanya sarjana informal. Selalu kalah dengan profesional yang lincah merapikan nominal.
Mimpiku sederhana dan mudah –setidaknya menurutku. Aku ingin semua yang kalian pikirkan menjadi sesuatu yang memiliki harga. Dan saat itu terjadi aku ingin bermimpi tentang sesuatu di penginapan tepi pulau gili, bangun pagi, duduk menenggelamkan kaki, melihat ikan-ikan kecil berkeliaran dan seorang pelayan cantik datang membawakan menu makan pagi bersama mentari.
Aku tau mudah karena orang-orang di pulau ini terlahir cerdas. Mereka hanya butuh sedikit kesempatan menulis taqdirnya.
NB: Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community
Silahkan Bergabung di grup FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H