Lihat ke Halaman Asli

BPJS dari Hukum Agama, Ekonomi dan Politik

Diperbarui: 11 Agustus 2015   23:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Warga memegang kartu BPJS Kesehatan (Kompas.com)

Sebelumnya saya ingin perkenalkan diri bahwa saya bukan ulama, bukan kyai dan bukan ustad. Namun bagaimanapun saya pernah nyantri dan kuliah di jurusan yang sedikit banyak menyinggung ekonomi. Sekalipun belajarnya hanya pas ujian saja, setidaknya pernah belajar meskipun sangat sedikit. Sebenarnya bukan level saya untuk mengangkangi fatwa Majlis Ulama Indonesia, jadi dalam tulisan ini mari niatkan sebagai bertukar pikiran.

MUI secara resmi menyatakan bahwa BPJS haram karena mengandung unsur riba. Pernyataan ini disampaikan langsung oleh ketua bidang fatwa KH Ma'ruf Amin.

"Ya menggunakan bunga, indikatornya bunga," kata Kiai Ma'ruf Amin, menjelaskan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V Tahun 2015 di Tegal, Jawa Tengah, beberapa hari lalu.

Saat ditanya apakah BPJS Kesehatan yang sekarang ini dijalankan harus dihentikan, Kiai Ma'ruf menjawab solusinya harus segera dibuat BPJS Kesehatan yang syariah.

"Harus dibuat yang syariah. Harus ada BPJS yang syariah, yang diloloskan (syarat-syaratnya) secara syariah," jelasnya.

Bunga (contoh: bank) sering diartikan sebagai riba, karena ada unsur pertambahan dari dana awal. Pada semua agama, bahkan Yahudi sekalipun, semuanya sepakat bahwa riba adalah haram di sisi agama karena dinilai memberatkan atau terjadi unsur eksploitasi. Namun karena MUI menjadi represetasi dan berlandaskan ajaran Islam, maka kita fokus saja dengan hukum agama yang satu ini.

Untuk memudahkan ilustrasi dan pengandaian, saya ingin menggunakan bunga bank karena lebih familiar di kepala kita dibanding BPJS yang masih baru. Namun konteks dan indikatornya sama, bunga.

Dalam sebuah contoh misalnya saya berhutang ke bank sebesar 10,000,000 (sepuluh juta) rupiah selama 5 tahun. Maka setelah 5 tahun, jika dihitung dengan cicilan bayar bulanan, totalnya saya membayarkan 13,500,000 (tiga belas juta lima ratus ribu) rupiah, dengan hitungan bunga 0,5% perbulan. Ini sekedar contoh saja untuk memudahkan, karena setau saya bunga bank terendah hanya 0.7% perbulan. Nah, uang yang sepuluh juta menjadi tiga belas juta setengah inilah yang diharamkan, dan disebut riba.

Dalam Islam hal semacam ini dilarang karena dinilai memberatkan dan tidak adil. Bunga dinilai kapitalis karena hanya mau untung. Kalaupun ada perubahan nilai, seharusnya menggunakan sistem bagi hasil. Lalu apa bedanya bagi hasil dan riba?

Bagi hasil ditentukan berdasarkan nilai keuntungan, penentuan rasio dilihat dari kemungkinan untung rugi, dan untung rugi ditanggung bersama. Sementara bunga ditentukan berdasarkan jumlah nominal, penentuan rasio tetap dan kalaupun rugi, modal dan bunga tetap harus dibayarkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline