Lihat ke Halaman Asli

Menangkal Media Islam Garis Keras

Diperbarui: 22 Juli 2015   20:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita harus hati-hati dengan marahnya orang sabar atau lantangnya suara orang yang pendiam.

Dalam ruang sosial media yang begitu terbuka kita bisa dengan mudah menilai dan menyimpulkan karakter seseorang. Semakin banyak hal yang ditulis dan dibagikan, maka semakin mudah kita mengidentifikasi.

Sejauh pemantauan saya, admin Kompasiana sangat mengontrol diri untuk tidak mengomentari, menilai ataupun mengeluhkan kompasianer. Admin adalah orang-orang yang defensif dari segala bentuk cacian maupun kritik yang keterlaluan. Namun pagi tadi saya menemukan celetuk sentilan dari salah satu admin yang saya kenal ramah, suaranya renyah, cantik nan unyu-unyu. Hehe. Ada yang tau siapa? Mbak Ella. Berikut ini statusnya di FB.

"Kompasianer itu kritis tapi santun. Gak bakal deh bikin artikel bakar-bakar SARA dan ngembangin isu yang belum jelas. Kalo ada yang nulis gitu, berarti ybs bukan Kompasianer."

Seperti kalimat pembuka artikel ini, selain hati-hati, saya jadi sangat tertarik untuk kepo apa dan siapa yang sedang membuat ulah. Apa jangan-jangan saya sendiri? Karena harus diakui Alan Budiman termasuk kompasianer yang menurut beberapa orang kadang (terlalu) berani, apalagi soal bakar-bakar ini saya juga ikut menuliskan artikel. Namun sepertinya bukan saya, sebab tulisan tersebut masih ada dalam list akun ini. Berarti orang lain.

Terlepas dari siapa kompasianer yang dimaksud, saya menyimpulkan bahwa tulisan atau orang yang dimaksud sudah cukup keterlaluan menyinggung SARA. Sebab setau saya admin Kompasiana biasanya santai nan kalem, sementara sebagai pribadi Mbak Ella sepertinya jauh dari tipe pribadi sumbu pendek. Kalau tidak percaya coba saja lihat foto yang bersangkutan akun facebooknya.

Seperti sebuah kebetulan, sehari sebelumnya saya kembali (mengenang) menjadi santri semalam dalam program tahunan. Saat bertemu dengan kyai, teman-teman sempat ada yang secara tidak langsung menyinggung soal kerasnya referensi islam di google raya.

"Ya saya mengikuti. Namun biasanya kan dunia maya itu tak seriuh kenyataanya. Yang ribut orangnya itu-itu aja." Begitu kata kyai Ghozi.

Pada intinya beliau belum menemukan cara yang pas untuk menetralisir fenomena 'pesantren google' ini. Beliau dan jajaran kyai fokus pada pembinaan santri-santri dalam naungan Al-amien Prenduan yang jumlahnya lebih dari 3,000 orang. Karena kalau harus juga ikut masuk dalam alam maya, mungkin beliau-beliau ini bisa kurang fokus dalam mengayomi santri yang ada di dalam.

Setelah sowan dengan kyai kami teman-teman kemudian bermalam di penginapan dalam rangka acara bebas, ngobrol, makan, tidur-tiduran atau bernostalgia keliling pesantren. Dari beberapa teman alumni asli Madura, ada salah satu teman yang sejak menjadi santri kami pernah beberapa kali sekelas. Dia selalu di kelas A, sementara saya bolak-balik A, B, C, D karena otak saya kadang kurang siap bertanding di laga ujian semester. Kelas kami memang dibagi sesuai urutan rangking, setiap kelas masing-masing 30 orang. Rangking terakhir dari 214 teman sealumni akan berada di kelas H. See? A B C D are good enough right? Haha (pembelaan). Teman yang saya maksud ini adalah Oci. Saya dan Oci beberapa kali pernah sekelas di kelas A.

Sejak keluar dari pesantren, tidak seperti teman-teman yang lain, Oci kembali menjadi santri di beberapa pesantren sebelum akhirnya berlabuh di Pujon Malang, dia menjadi salah satu santri pendakwah dari kuota 40 orang yang ada. Pesantren ini hanya menampun 40 orang, jika ada yang keluar maka akan ada yang masuk, tidak lebih tidak kurang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline