[caption id="attachment_403231" align="aligncenter" width="624" caption="Mata Uang Rupiah (Kompas.com)"][/caption]
Rupiah saat tulisan ini dibuat sedang berada di angka 13,250 per dollar. Dari analisa tekhnikal maupun fundamental dua mata uang (rupiah dan dollar) ada kemungkinan rupiah akan semakin terpuruk ke angka 14,000 dalam 3 atau 4 bulan lagi.
Dalam kondisi seperti ini ada banyak orang yang sudah menuliskan usulan-usulannya. Sebuah solusi yang nampak logis untuk segera dieksekusi oleh pemerintah. Mewajibkan eksportir merupiahkan dollar yang didapat dalam batas tertentu, mengutamakan investor lokal, membatasi tabungan dollar, jangan belanja atau jalan-jalan ke luar negeri, bahkan sampai ada yang 'mempermasalahkan' beasiswa luar negeri.
Dari semua solusi ini, mungkinkah pemerintah dalam hal ini presiden mengeluarkan kebijakan seperti itu? Jawabannya tidak realistis dan malah hanya akan menjadi angin lalu.
Rupiah melemah ini seperti kita sedang sakit perut, tapi yang dipijat adalah paha dan jari kaki. Seperti saat kita demam panas tapi yang disuntik bukanlah kepala. Persis seperti saat kita menyentuh najis, namun yang dibersihkan bukan hanya bagian yang menyentuh, namun semua bagian tubuh yang wajib dibersihkan untuk sahnya wudlu.
Saat rupiah melemah, masalahnya bukan mata uang itu sendiri, melainkan kondisi ekonomi Indonesia. Usulan-usulan logis di atas mungkin memang memiliki pengaruh terhadap rupiah, namun sangat kecil dan kemungkinan terlaksananya juga kurang realistis. Rumit sekali jika pemerintah mewajibkan eksportir merupiahkan dollarnya, bukannya tidak mau mengutamakan investor lokal tapi adakah investor dengan nominal besar? Justru investor asing lah yang bisa menguatkan rupiah bukan sebaliknya. Membatasi tabungan dollar? Bukankah investasi asing dan tabungan dollar juga bisa disebut devisa? Bukankah tabungan valuta asing juga disebut bank devisa?
Sementara soal jalan-jalan dan beasiswa luar negeri? Tidak salah. Namun nominal transaksi dan efeknya terhadap penguatan rupiah sangat amat kecil. Lantas masih relevankah pemerintah melakukan itu semua? Saya rasa ada yang jauh lebih penting dan skala lebih besar yang bisa dilakukan.
Berikut ini paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti penyama rataan pajak perusahaan asing dan lokal, mengurangi pajak penghasilan bagi perusahaan yang berorientasi ekspor minimal 30%, pembebasan pajak nilai bagi industri galangan kapal, meningkatkan porsi penggunan biodesel sollar agar tidak boros BBM, pendirian reasuransi BUMN serta memperlancar remitansi dan mengurangi pajak bagi investor yang mau re-investasi di Indonesia.
Selain paket kebijakan ekonomi tadi, pemerintah juga bersiap untuk melakukan pembangunan ifrastruktur yang mendukung kemajuan ekonomi. Dalam presentasi Presiden Jokowi pada Indonesia outlook 2015 Januari lalu, beliau sudah memaparkan target yang harus dicapai oleh masing-masing menteri. "Kalau tidak mampu, masih banyak yang siap jadi menteri" begitu kelakar Presiden Jokowi.
Di Sumatera akan dibangun jalan tol dengan lebar 100 meter, transmisi listrik di kanan dan rel kereta di kiri agar memudahkan pembebasan lahan. Juga ada target 35 ribu megawatt. Pembangunan 59 waduk di seluruh provinsi yang diharap dalam 2 tahun ke depan mampu menghasilkan minimal 10 ribu ton beras. 30 bandara baru akan dibanguh dan diperbaiki, namun kemudian baru-baru ini direvisi bahwa akan ada 100 bandara baru dimana 49 diantaranya adalah bandara di daerah terluar Indonesia dan rawan bencana. Percepatan pembangunan termasuk kereta di Papua. Target wisatawan juga ditingkatkan yang seharusnya 2 kali lipat dari Thailand (28 juta).
Semua rencana tersebut sekilas nampak 'bercanda'. Namun melihat progress dan tahapan yang sudah dilakukan, sepertinya memang akan terlaksana tahun ini. Target swasembada bukan mimpi atau orasi kampanye, meski memang cukup gila jika sekelas Presiden masih memikirkan pembangunan waduk.