Lihat ke Halaman Asli

Roeslan Hasyim

Cerpen Mingguan

Trisula Sakti Penguasa Negeri

Diperbarui: 3 Januari 2021   05:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.ajnn.net/

Tok Tok Tok suara ketukan palu dari sang hakim terasa begitu lambat sekali, dan terasa begitu memekakkan telingaku, seperti berada di area dentuman suara bom atom yang menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki dikala Negara ini sedang memperjuangkan kemerdekaannya. Rasanya aku ingin berlari, pergi menjauh dari ruangan ini. Ruang sang pengadil dan ruang keadilan yang adil hanya pada segelintir orang, untuk mereka yang memiliki banyak uang atau jaringan pejabat tinggi hingga mereka yang berdasi mewakili aspirasi rakyat kecil yang sering dikhianati.

“ Itu putusan yang adil. Hukum dia, karena dia penyebar berita bohong, dan mempengaruhi banyak orang dalam bahaya yang begitu mencekam.” seruan dari salah satu orang yang mengikuti persidangan di meja hijau. Suara berisikpun saling bersautan dan saling hantam kata-kata ditengah – tengah persidangan yang hampir usai pun terjadi akibat terpancing oleh seruan satu orang.

Mereka yang menganggapku sebagai benalu, berteriak lantang bahwa aku hanya biang onar. Sedangkan mereka yang meyakini kebenaran yang aku sampaikan, menganggapku seperti dewa, dipuja dan harus dibela.

Keputusan hakim itu menyatakan bahwa diriku bersalah, dengan menjeratku menggunakan pasal 1045A ayat (1) yang berbunyi, setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan dipidana dengan pidana penjara enam tahun dan denda paling banyak 1 miliar lore.

Keputusan itu tentu tak bisa aku terima dengan lapang dada, karena aku berpikir bahwa apa yang menjadi keyakinanku itu adalah sebuah kebenaran yang tak bisa dipidanakan hanya kerena aku menyebarkan apa yang aku anggap benar melalui berbagai platform media social.

Aku ingat, sebelum aku dimeja hijaukan oleh sekolompok orang yang mengatasnamakan pembela kebenaran. Sering bahkan terlampau sering sekali menuliskan apa yang aku anggap benar di whatsapp, Instagram, facebook bahkan juga di youtube.

Aku sering mengungkapkan bahwa Tuhan itu hanya satu. Tuhan itu satu satunya yang pantas di Tuhan-kan, Tuhan itu just & only yang patut untuk disembah, menjadi tempat bersandar, tempat meminta pertolongan bahkan Tuhan adalah segala-galanya bagi manusia. Namun sangat disayangkan, apa yang aku ungkapkan melalui media social itu justru menjadi boomerang yang membuatku harus berurusan dengan para pengadil negeri ini.

Merasa Keberatan dengan putusan hakim, maka pada masa waktu yang aku miliki selama 7 hari sebelum putusan hakim menjadi hukum tetap, aku mengajukan banding sesuai dengan Pasal 1067 KUHAP, yang menjelaskan: ”Terdakwa atau Penuntut Umum berhak untuk minta Banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama.”

Proses sidang pun dimulai setelah beberapa hari proses pengajuan banding diterima oleh pengadilan.

“Anda sebagai terdakwa, telah terbukti menyebarkan hoax, berupa keyakinan yang palsu melalui media social. Kenapa anda masih memberanikan diri melakukan banding?” seru Jaksa Penuntut Umum

“Apakah yang saya yakini itu palsu?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline