Lihat ke Halaman Asli

Republik Rating

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jika ada sebuah negara yang sangat mudah konsentrasi sekaligus gampang mengalihkan perhatian dalam sekejap, mungkin itulah negaraku. Penyebabnya adalah komando atau imam. Negaraku menumbuhkan rakyatnya sebagai insan-insan didikan media massa. Jika mau mengenal rakyatnya, kenalilah medianya, atau sebaliknya.
Drama adalah candu terhebat di sini. Dengan tulus, TV dan media lain akan menyediakannya sepanjang hari. Lalu sang rakyat akan jatuh cinta sambil termehek-mehek. Dengan cepat dia akan menghapal 'Interpelasi, evakuasi, redenominasi, serta puluhan istilah sasi-sasi lain' yang diajarkan reporter.
Karena drama itu adalah perlombaan mencapai orgasme keingintahuan, itu artinya rating. Dan rating adalah bisnis. Karenanya berlatihlah untuk tidak mengalami kejenuhan di negaraku. Sebuah peristiwa akan disuguhkan penuh intrik. Bahkan deretan keluarga korban yang begitu rapuh dan saya jamin sangat tidak sudi direkam kamera akan menjadi dagangan hebat.
Sebuah peristiwa mencekam, kecelakaan pesawat, berita yang saya tunggu adalah rincian peristiwa tentang pesawat dan penumpangnya, bukan raungan keluarga penumpang. Menari-nari di atas penderitaan orang lain. Penonton akan suka. Anda dideteksi media, maka media memberikannya dengan senang hati.
Penonton sangat terbiasa melihat seorang reporter tanpa ilmu berbicara yang cukup dengan enteng bertanya ke seseorang yang sedang berjuang menahan duka dengan kalimat, "Bagaimana perasaan anda setelah mengetahui keluarga anda ikut menjadi korban..."  Tentu reporter tadi menunggu jawaban yang sudah dia ketahui. Dia berharap bonus ekspresi yang lebih trenyuh lagi. Jika tidak, dia akan mengulik-ngulik luka berat itu sembari mencari waktu yang tepat untuk zoom kamera.
Kini, bahkan Metro TV sedang berpaling dari media darling, Jokowi dan menteri Susi. Peristiwa nasional yang seharusnya manis semanis-manisnya bagi presiden lewat begitu saja. Nyaris tanpa suara. Penurunan harga BBM. Padahal ini mahal. Berlian kebijakan politik.
Itu kurang drama. Jika bisa didramatisasi, tak akan semenarik tangisan keluarga dan petualangan laut mencari jenazah dan bangkai pesawat. Maka bersabarlah dunia politik. Ini momennya Basarnas, AL, AU, dan dunia penerbangan. Ini akan panjang hingga ada kejadian gempar lain yang akan membuat kecelakaan ini dalam sekejap ditinggalkan kamera.
Media massa adalah Tuhan di negaraku. Dia lebih ditakuti dari siapa pun. Kata-katanya selalu disalin tanpa saringan. Dia sanggup membesarkan yang kecil dan menihilkan yang seharusnya besar.
Lihatlah 'Breaking News'. Dia berita sela. Seharusnya menyela, penting, dan pendek. Namun Tuhan media mengubahnya menjadi ajang bincang-bincang meletihkan dan promosi wajah tokoh baru.
Saya sangat menunggu, waktunya Tuhan itu dihukum pengikutnya. Dengan tidak mau  dijebak drama dan menuntut tayangan benar. Atau matikan TV. Jika tidak, dia akan terus membesar dan kehilangan kemampuan untuk peduli.
Peduli pada pendidikan karakter penonton, bukan melulu share rating. Rating itu racun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline