Lihat ke Halaman Asli

Sifat Kompetitif dari Kecil yang Melahirkan Dampak Negatif Hustle Culture

Diperbarui: 25 Juli 2023   01:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Waktu kita masil kecil kita sudah diajarkan untuk bersaing, mulai dari bersaing secara akademik ataupun non akademik. Sifat Kompetif itulah yang ingin menjadikan kita terbaik dalam segala bidang, begitu juga dalam kesuksesan, kemakmuran dan kekayaan.

Hal itulah yang mendorang kita yang masih muda untuk bekerja keras sampai tidak memperdulikan tentang apa yang terjadi pada kesehatan jasmani dan rohani dalam tubuh kita, hal itulah yang dinamakan dengan Hustle Culture.

Hustle Culture secara bahasa adalah budaya terburu-buru, yang berarti Budaya bekerja terlalu keras sampai melewati batas kemampuan diri sendiri dalam mencapai tujuan. Fenomena ini makin banyak di lirik ketika waktu Virus Covid 19 melanda dimana banyak orang-orang yang membagikan momen 'Work from Home', di mana banyak orang di sibukan dengan pekerjaannya.

Budaya ini yang banyak diikuti anak-anak muda sampai sekarang seperti bangga jika harinya penuh kegiatan, selalu sibuk terus, dan bangga dengan sibukannya seperti jarang tidur karena banyak pekerjaan. Karena menurut mereka dengan sibuk mereka mendapatkan kepuasan dengan alasan cepat akan sukses cepat. 

Hal inilah yang dianggap manusaia hanya diukur oleh finansialnya saja, budaya ini juga yang membuat mereka sulit berkumpul dengan keluarga dan orang-orang terdekat.

Penyebab orang-orang melakukan Hustle Culture bermacam-macam. Mulai dari karena banyaknya postingan motivasi yang mengkampaye harus bisa sukses di usia 20 tahunan. 

Suara inilah yang mendorong anak muda untuk bekerja keras atau overworking dengan tujuan kesuksesan, kekayaan, dan kemakmuran secara, sampai melupakan batas kemampuan diri. 

Ada juga tekanan dari orang-orang sekitar seperti membandingkan kesuksesan dengan saudara dan orang-orang terdekat, sehingga mau tidak mau harus berkerja lebih keras untuk menyetarai atau menyalipinya. Ada juga orang itu bukan hanya mencukupi kebutuhan dirinya sendiri tapi juga orang lain, seperti orang yang sudah berkeluarga dan harus memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Orang tua mereka yang tidak mampu lagi bekerja sehingga harus memilih Hustle Culture agar mencukupi kebutuhannya, dan lain sebagainya.

Fenomana ini bukan hanya terjadi di individu aja tapi juga beberapa organisasi, komunitas, bahkan perusahaan. Beberapa perusahan bahkan menerapkan kepada pegawainya untuk menjadi lebih semangat seperti memberikan 'reward' untuk para pegawainya yang ingin lembur mengerjakan pekerjaannya.

Dampak negative dari fenomena Hustle Culture sangat berbahanya baik dari segi jasmani seperti memicu penyakit seperti darah tinggi, diabetes, serangan jantung, stroke, hingga gangguan pencernaan. Penyakit tersebut tentunya memicu tingginya angka kematian akibat sifat gila kerja ini. 

Seperti di Jepang terdapat setidaknya 1 dari 5 orang pekerja menghadapi risiko kematian akibat terlalu banyak bekerja, dan di tahun 2016 ada  lebih 2000 kasus bunuh diri akibat stres bekerja. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline