Swasembada Pangan tanpa Kedaulatan Petani - kompas.com
Tanggal 23 September nanti kita akan memperingati Hari Tani Nasional. Di era SBY tanggal ini juga telah ditetapkan sebagai Hari Agraria Nasional. Menteri Pertanian menyatakan bahwa jika tak ada pengaruh berarti dari elnino, diperkirakan tahun 2016 swasembada pangan tercapai. Kedaulatan pangan dan keadilan agraria telah pula menjadi agenda utama Pemerintahan Jokowi. Namun, dominasi perusahaan multinasional dalam sektor benih akan menandai sejarah swasembada pangan kali ini sebagai swasembada pangan tanpa kedaulatan Petani.
Komitmen untuk mengurangi impor pangan telah telah menciptakan kesenjangan pasokan yang diikuti oleh lonjakan harga. Sayangnya lonjakan harga di tingkat konsumen tidak diikuti oleh kenaikan harga di petani. Kesimpulan sementara, kenaikan harga lebih menguntungkan pedagang antara dibandingkan petani dan disparitas terus meningkat.
Bustanul Arifin (2012) mengingatkan bahwa disparitas ini justru terus memburuk sejak reformasi. Untuk beras mencapai 1.500 rupiah. Kenaikan harga ini telah berkontribusi pada tingginya inflasi. Sejak Januari hingga pertengahan September 2015, harga beras di pasaran telah meningkat 14,5 persen (BPS, 2015) dan berkontribusi besar terhadap kenaikan angka kemiskinan sebesar 0.26 persen dari tahun sebelumnya.
Postur Anggaran Minus Riset?
Untuk mendorong laju produksi pangan Pemerintahan Jokowi telah meningkatkan anggaran di sektor ini hingga mencapai 126,6 triliun rupiah pada RAPBN 2016. Bersamaan dengan kenaikan anggaran, luas panen untuk tiga komoditi utama (padi, jagung dan kedelai) bergeser ke luar Jawa dan Bali. Ini menunjukkan orientasi pertanian pangan ikut mulai terdistribusi ke luar Jawa dan Bali, meski pergeseran baru mencapai 4,3 persen dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Belum diketahui pasti apakah pergeseran luas area tanam ke luar Jawa dan Bali ini juga diikuti oleh distribusi anggaran.
Dalam nota keuangan yang disampaikan Agustus 2015, anggaran untuk pupuk bersubsidi mencapai 30 triliun rupiah, dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk perbaikan sistem pengairan di sektor pertanian mencapai 20 triliun rupiah. Anggaran ini melonjak drastis dibandingkan pada pemerintahan sebelumnya.
Distribusi pupuk masih menghadapi masalah klasik berupa penjualan kembali pupuk. Untuk ini dalam kongres HKTI (31/7/2015) Jokowi menyatakan akan mengubah skema pupuk bersubsidi. Sementara perbaikan sistem pengairan terkendala rendahnya serapan anggaran di daerah. Alasan utama yang disampaikan banyak kepala daerah adalah kekhawatiran mengenai ancaman pidana korupsi. Meski banyak kalangan merasa kurang efektif, Jokowi merespon dengan menerbitkan surat edaran bahwa kebijakan tak bisa dipidanakan.
Di luar dinamika tersebut, satu hal yang menjadi tanda tanya ketika melihat postur anggaran kedaulatan pangan yang telah disampaikan oleh Jokowi adalah alokasi anggaran untuk riset pangan. Tak terlihat alokasi signifikan untuk riset pangan, terutama untuk teknologi pembenihan. Kemungkinan anggaran riset terapan masuk ke dalam anggaran Kementerian dan Lembaga. Publik perlu mengetahui arah kebijakan riset dan pengembangan pangan berikut dukungan anggarannya untuk memastikan apakah riset dan proyek pengembangan memang akan mendukung kedaulatan pangan.
Sebagai contoh, promosi penggunaan teknologi Combine Harvester untuk paska panen oleh Litbang Kementerian Pertanian telah mendapat kritik dari lembaga studi Akatiga (2014). Meski jauh lebih efisien dalam hal waktu, Akatiga menyatakan bahwa pemanfaatan teknologi ini berdampak pada hilangnya pendapatan tenaga kerja paska panen dalam jumlah besar yang umumnya perempuan. Publik perlu mengetahui arah pengembangan teknologi pangan ke depan.
Untuk Siapa Mereka Bertani?
Diagram produksi tiga komoditi pangan berikut menngisyaratkan adanya perbedaan pola produksi masing-masing komoditi, yakni: padi, jagung dan kedelai. Pada komoditi padi tampak kenaikan produksi diiringi kecenderungan luas panen yang sama. Dengan kata lain, perkembangan produksi padi relatif tak mengalami perubahan teknologi yang berarti.