Lihat ke Halaman Asli

Daging dan Politik Ekonomi Jual Paksa

Diperbarui: 13 Agustus 2015   21:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisruh daging sapi potong menimbulkan beberapa tanda tanya. Mengapa para pedagang melakukan aksi mogok jual ketika harga daging meroket sementara harga sapi potong di peternak lokal tak ikut terkatrol? Apakah aksi ini didorong oleh rasa kecewa pedagang karena pasokan yang langka? Presiden Jokowi kemudian menyampaikan bahwa ada yang menahan stok daging sehingga harga melambung tinggi.

Selisih dua hari Kabareskrim menyatakan telah ditemukan sapi siap potong berjumlah 22.000 ekor di PT BHS (Beritasatu, Rabu 21:40). Sementara sumber lain di Mabes Polri menyatakan ditemukan sekitar 3.164 ekor sapi di PT BHS dan 500 di antaranya sudah memenuhi syarat untuk dipotong tapi hingga kini tidak dipotong (CNN, Rabu 23:00). Tak begitu jelas mengapa terjadi perbedaan jumlah yang fantastis.

Namun ada pernyataan yang relatif sama, yakni mengenai adanya 500 ekor sapi yang siap potong dan seharusnya dilepas ke pasar pada saat hari raya. Sepertinya ada keinginan untuk menyampaikan pesan bahwa Presiden benar dan Pemerintah sigap menindak mafia daging, sambil menunggu dampak penurunan harga melalui operasi pasar Bulog. 

Tanam Paksa vs Jual Paksa

Pada masa pemerintahan kolonial rakyat menderita akibat diterapkannya politik tanam paksa untuk kepentingan ekonomi Penjajah. Pada zaman Orde Baru politik tanam paksa ini secara halus diubah agar tampak lebih ramah pasar dan bersifat voluntary. Meski upaya paksa tak tampak di permukaan, ambisi swasembada pangan rezim Orde Baru menyebabkan para petani dimobilisasi untuk menanam beras (green revolution).

Beras murah penting untuk mendukung pembangunan sektor industri padat karya berorientasi ekspor yang mengandalkan tenaga kerja murah. Untuk menjaga harga beras terjangkau, pupuk disubsidi dan Bulog dibentuk untuk menjalankan fungsi stabilisasi harga. Secara tak langsung jutaan petani telah beralih profesi menjadi pekerja lepas sektor publik.

Penderitaan panjang petani tak berhenti juga. Paska jatuhnya Suharto, atas desakan IMF ekonomi pangan diserahkan kepada mekanisme pasar. Alih-alih menyelesaikan masalah, gonjang-ganjing harga pangan menjadi semakin tak menentu. Pemerintah mulai memilih untuk memberikan peran besar kembali kepada Bulog. Namun peran Bulog dinilai masih dinilai tak terlalu efektif karena kuatnya kartel impor pangan yang kerap mengganggu pasar lokal.

Sebagai pengusung kedaulatan pangan, Jokowi mengambil kebijakan untuk membatasi impor. Para importir pangan masih diberi ruang bermain meski sangat dibatasi. Impor tetap diserahkan kepada pelaku swasta dengan biaya sendiri. Tak ada dukungan anggaran, kecuali jika impor dilakukan oleh pemerintah melalui Bulog atau kontraktor.

Untuk menjaga mekanisme pasar berjalan dengan adil, pemerintah memastikan agar prinsip persaingan usaha yang sehat diterapkan. Bahaya penimbunan komoditi impor yang menyangkut hajat hidup orang banyak diantisipasi melalui Undang-Undang.

Pengusaha melakukan impor atas inisiatif sendiri, meski quota pemerintah yang menetapkan. Tak ada alasan yang cukup kuat dari pemerintah untuk menuntut mereka melepas komoditi dengan alasan menghindari penimbunan sepanjang tidak masuk dalam kategori yang ditetapkan Undang-Undang: terjadi kelangkaan barang, gejolak harga dan hambatan lalu lintas Perdagangan Barang. Jika kondisi tersebut terpenuhi, maka ‘politik jual paksa’ mesti dilakukan.

Politik jual paksa lazim dilakukan sepanjang untuk melindungi kepentingan kemanusiaan. Untuk itu negara mengaturnya melalui Undang-Undang Pangan yang mengatur sanksi administratif, dan Undang-Undang Perdagangan yang mengatur sanksi pidana bagi penimbun kebutuhan pokok dan barang penting. Pasal 29 Ayat (1) UU Perdagangan mengatur: “Pelaku Usaha dilarang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang."

Undang-Undang yang disahkan pada tahun 2014 ini menerapkan sanksi pidana pada Pasal 107 yang mengatur: “Pelaku Usaha yang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline