Lihat ke Halaman Asli

Impor Daging dan Dualisme Pasar

Diperbarui: 20 September 2015   11:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

It is essential to change both the institutions and the belief systems for successful reform since it is the mental models of the actors that will shape choices—Douglas C. North

Polemik impor daging selalu menjadi topik kebijakan ekonomi yang tak kunjung selesai. Sepertinya Pemerintahan Jokowi tak memiliki alternatif lain kecuali mempercepat tumbuhnya peternakan skala besar dan menengah. Upaya yang ditempuh selama ini untuk mengandalkan pasokan dari para peternak kecil praktis tak mungkin karena adanya dualisme pasar ternak di Indonesia.

BPS memperkirakan konsumsi daging sapi naik 8 persen di tahun 2015 mencapai 639.000 ton atau setara 3,25 juta ekor sapi. Sementara hasil sensus 2011, jumlah sapi potong rakyat ada 14 juta ekor lebih. Sayang hasil pendataan dor to dor BPS ini tak bisa lebih diperinci untuk mengetahui berapa sesungguhnya stok nasional siap potong.

Bersamaan dengan pembatasan Impor, harga terus melambung menembus Rp. 120.000 per kg. Rezim kedaulatan pangan terpaksa membuka keran impor untuk 50.000 ton daging sapi. Quota tersebut terasa begitu kecil bagi para peternak di Autralia. Perdana menteri Australia berusaha meredam kegelisahan para produsen dengan mengatakan bahwa kebijakan tersebut kemungkinan hanya sementara. 

Australia vs India di Pasar Lokal

Bertahun-tahun pasar daging Indonesia telah menjadi medan perang dagang antara Australia dan India. Pemerintah terdahulu sempat menggerakkan pemotongan 2,5 juta ternak untuk memasok kebutuhan lokal. Akibatnya sistem stok terganggu dan pada periode berikutnya kesenjangan pasokan meningkat tajam.

Tingginya permintaan daging sapi di Indonesia menyebabkan Australia terpaksa mengeluarkan cadangan sapi mereka (ALEC, 2014). Australia akhirnya menguasai 15 persen pasokan daging sapi potong dan 35 persen pasokan sapi hidup dari total kebutuhan nasional (MLA, 2015).

Berbeda dengan Australia, India tak mendapatkan ijin quota impor dari Indonesia. Meski pernah masuk, kerasnya persaingan impor daging di Indonesia telah menghentikan impor daging sapi dari India. Penyakit kaki dan mulut dan meluasnya isu anthrax memukul mundur mereka.

Daging dari India kemudian masuk ke pasar Indonesia melalui Malaysia dalam bentuk daging olahan. Nilai impor sosis dan daging olahan pada 2014 telah meningkat 18 kali lipat dalam dua tahun (BPS, 2015). Malaysia menguasai 86 persen pasar impor sosis Indonesia dengan harga separuh lebih murah untuk kualitas yang sama (NAMPA, 2015).

Di pasar daging mentah Australia terus menggempur dan di pasar daging olahan India melakukan penetrasi melalui Malaysia. Perang dagang yang telah berlangsung lama ini menelan korban produsen lokal yang ingin mengembangkan skala ekonomi mereka. Harga jual sapi mereka selalu tertekan meskipun harga di pasar melambung. Pada tahun 2014 daging sapi impor memasok 30 persen kebutuhan dan terus meningkat hingga 46 persen (Arifin, 2015).

Konsep Nilai Peternak Kecil

Kebijakan stabiliasasi harga melalui Bulog dan buka tutup keran impor tak akan berhasil memperkuat fundamental ekonomi pangan, khususnya daging. Persoalan fundamental ekonomi daging ada pada dualisme ekonomi antara peternak dan pedagang.

Model peternakan sapi potong di Indonesia kebanyakan masih bersandar pada kebiasaan yang dikenal dengan sistem Gaduh. Petani dititipkan sapi oleh pemilik dan bertanggung jawab memeliharanya. Pada saat dijual, petani mendapatkan bagi hasil sesuai kesepakatan sebelumnya. Program Pemerintah telah melahirkan beberapa modifikasi sistem gaduh ini, namun tak pernah berhasil menjawab persoalan skala produksi dan pola beternak yang lebih modern.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline