Gejala politik munculnya Dodi Reza Alex sebagai bakal calon Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) dalam Pemilihan Kepala daerah serentak 2018 mendatang, mulai dirasakan gerakan atau manuvernya dikalangan elite atau penggiat politik di daerah Bumi Sriwijaya tersebut.
Dodi yang saat ini baru saja memangku Jabatan Bupati Musi Banyuasin (Muba), tengah menghitung peluang juga dukungan untuk berakselerasi menjadi Gubernur Sumsel.
Pemerhati Sosial Politik Sumsel Bagindo Togar Butar Butar mengatakan, dengan modal politik pernah menjadi anggota DPR RI, dan saat ini tengah menjabat sebagai Bupati Muba, serta tentu saja yang secara biologis, putra Gubernur Provinsi ini yang juga Ketua partai besar (Golkar), tentu ini merupakan bonus power, ketika kelak menjadi Kontestan saat Pemilihan Gubernur Sumsel.
Menurut Bagindo secara konstitusional, sah- sah saja Dodi maju di Pilgub Sumsel dan berusaha untuk meramaikan pertarungan politik tersebut. Tapi baginya harus diingat bahwa aroma elitisme dalam pencalonan Dodi sangat menyengat. Bagindo yang juga Ketua IKA FISIP Unsri ini menyatakan tak bisa dipungkiri kalau di Sumsel telah terjadi trend atau rekonstruksi politik dinasti.
Bagindo menegaskan bahwa masa depan pembangunan Demokrasi di negeri ini, khususunya di Sumsel telah mengalami defisit (penurunan). Rakyat atau publik seolah sulit untuk yakin atas perkembangan sistem dan kemanfaatan sistem pemerintahan, yang menganut azas-azas demokrasi. Hal ini tak terlepas dari akses dan infrastrukstur menuju kekuaasaan yang didominasi oleh kalangan elite tertentu. Bagi Bagindo praktik politik semacam ini jelas-jelas telah mereduksi fungsi-fungsi demokrasi.
Agar fungsi demokrasi itu berlaku, Bagindo menyarankan Partai Golkar dan Alex Noerdin tidak buru-buru menempatkan Dodi sebagai calon yang diusungnya pada Pilgub 2018 nanti. Sebab menurut Bagindo Golkar memiliki kader yang melimpah dan bisa dimajukan selain Dodi. Jika tetap memaksakan Dodi, justru bisa menjadi blunder bagi Dodi dan partainya sendiri.
Mempertimbangkan kembali Dodi sebagai Cagub Sumsel, bagi Bagindo adalah cara untuk mengurangi eksistensi primordialisme politik di Sumsel. Menurut Bagindo, Partai Golkar akan lebih bijak jika menghadapi dinamika perkembangan dan masa depan sistem demokrasi di Sumsel dengan mendorong partisipasi massa secara luas, adil dan artikulatif.
Caranya, menurut Bagindo Dodi harus rela bersabar, karena selain masih butuh persetujuan masyarakat (Muba) agar menambahkan pengalaman, Dodi juga harus mempertimbangkan bahwa untuk mendapat modal sosial yang kuat tidaklah singkat. Karena itu penting hasrat untuk naik kelas jabatan politik direview dan dikalkulasi secara komprehensif.
Menurut Bagindo, dengan usia Dodi yang masih tergolong muda, jelas memiliki waktu panjang, teruji dan lebih siap untuk duduk dikursi Sumsel satu. Sekaligus menjadi wujud kontribusi dengan pembangunan demokrasi yang didambakan warga provinsi Sumsel. Kalau Dodi bersabar, menurut Bagindo pemimpin- pemimpin yang munculdi Sumsel bisa terbebas dari bagian politik dinasti. Tapi kalau tetap ngotor nilai- nilai demokrasi di Sumsel akan mengalami defisit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H