Kondisi jalanan di Sumatra Selatan masih memprihatinkan. Hampir semua titik jalan, terutama di Kota Prabumulih, khususnya Jalan Lingkar Kota Prabumulih hancur lebur dan rusak parah. Pertanyaannya, siapa yang bertanggungjawab dalam hal ini?
Kota Prabumulih
Kota Prabumulih merupakan kota perlintasan. Tidak kurang dari sembilan Kabupaten/Kota di Sumsel bila ingin ke Palembang maka harus melewati jalanan Prabumulih. Sebagai kota perlintasan, Prabumulih dilewati ribuan kendaraan setiap harinya. Sekilas tidak ada yang salah dalam hal ini, karena sudah menjadi konsekuensi bagi kota yang menempati perlintasan.
Bukan banyaknya kendaraan melintas itu yang menyebabkan jalanan di Kota Prabumulih rusak parah. Tapi kendaraan pengangkut Batubara dan Log Kayu yang menjadi "biang keroknya". Memang bukan dari daerah jauh, batubara itu diambil, tapi dari Prabumulih sendiri. Disini persoalannya, padahal Prabumulih yang berada di bagian Selatan dari Sumatra Selatan ini sudah dicatat sebagai daerah yang secara tegas menolak eksplorasi dan eksploitasi batubara.
Pemerintah setempat juga telah menerbitkan regulasi dalam bentuk Peraturan Daerah (PERDA) yaitu Perda Nomor 1 tahun 2014 yang melarang ekplorasi dan eksploitasi batubara. Perda ini dibuat cukup beralasan karena hampir separuh wilayah Prabumulih yang memiliki luas tidak seberapa (+ 434 km2), perut buminya kaya dengan mineral batubara. Bila dieksploitasi itu terus-menerus dibiarkan, maka bisa dibayangkan akan terjadi beribu kerusakan yang dialami oleh Prabumulih seperti yang terjadi di kebanyakan daerah tambang batubara di Sumsel.
Mineral hitam ini memang menjadi idola. Saat ini dibanyak daerah tidak sedikit masyarakatnya secara ilegal dan membabibuta menambang batubara seperti yang banyak ditemukan di Kabupaten lain Sumsel. Bahkan disepanjang jalan Lintas Tengah Kabupaten Muara Enim dengan mudah dapat ditemukan batubara yang sudah ada didalam karung yang dijual kiloan ke para tengkulak dan diangkut dengan angkutan berat melintas dengan gagah perkasa dijalanan yang ada di Sumsel.
Angkutan batubara yang berat dan selayaknya hanya diperuntukkan menjadi angkutan di lokasi tambang saat ini serta sudah berlangsung sejak kurang lebih 8 tahun terakhir melintasi jalanan yang menjadi urat nadi pergerakan perekonomian di Sumsel. Akibatnya, jalanan yang memang dibangun dan disiapkan untuk dilintasi kendaraan dengan tenaga tidak berlebih itu menjadi hancur lebur. Parahnya lagi perusahaan angkutan tambang seperti tidak peduli dan tidak bertanggung jawab untuk segera melakukan perbaikan jalan.
Yang paling miris adalah jalan lingkar Kota Prabumulih. Jalan yang memiliki panjang 21,5 km, dibangun dengan APBD Murni Kota Prabumulih yang menghabiskan biaya tidak kurang dari Rp 150 milyard, kondisinya sangat memperihatinkan. Jalanan yang sebelumnya sangat mulus itu dan menjadi salah satu ikon keberhasilan pembangunan Prabumulih menjadi rusak parah dan hancur lebur. Saat ini jalanan itu seperti menjadi kubangan lumpur yang sangat tidak layak untuk dilewati lagi.
Saat hujan tiba maka jalan tersebut persis seperti kolam retensi kalau tidak mau disebut kubangan kerbau, dan saat musim kemarau maka partikel-partikel debu pun beterbangan kesana kemari menghiasi dan mewarnai langit Prabumulih.
Sulusi Walikota Prabumulih
Walikota Prabumulih Bpk Ir. H. Ridho Yahya, MM sudah berbuat dan berupaya maksimal dan seperti berjuang sendirian. Dibeberapa kesempatan bahkan beliau harus mengusir sendiri truk batubara yang melintas di Jalan Jenderal Sudirman. Tentu upaya ini tidak akan menjadi besar bila tidak didukung oleh semua pihak yang berkepentingan, terutama Pemprov Sumsel. Karena "mata dan telinganya" pasti lumpuh, "Tangan dan Kakinya" juga tidak mungkin menjangkau 24 jam Kota Prabumulih.