Lihat ke Halaman Asli

Haji Mansur

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saat mendengar Haji Mansur memakelari penjualan tanah di bagian barat pulau, mata Rahim seperti melihat kecipak ribuan ikan tongkol dan terkaman burung-burung camar. Girang bukan kepalang. Sekarang ini tak banyak orang yang mau menjual lahan kosong. Kalaupun ada, pemilik lebih suka menyulapnya jadi penginapan untuk para pelancong. Dan harga tanah terus naik.

Sebelum jumlah pelancong melonjak, masih banyak yang menyewakan petak-petak rumah bagi pasangan baru menikah atau para pelajar dari luar pulau yang sekolah di pulau ini. Sekarang kontrakan bagi mereka terus ciut. Kebanyakan mulai diganti untuk penginapan wisatawan. Mereka yang mengontrak secara bulan diminta pindah.

“Sebulan sekurang-kurangnya kita bisa dapat sejuta lebih. Kontrakan biasa paling-paling Rp. 300 ribu – Rp. 500 ribu,” kata Ramlan pada Rahim.

“Coba kau hitung berapa kontrakan yang masih ada untuk tempat tinggal di sini,” tanya Ramlan. Belum sempat dijawab, Ramlan menjawab sendiri. “Paling tujuh sampai sepuluh.”

Seperti Rahim, Ramlan dulu nelayan jaring muroami yang berbulan-bulan memburu ikan. Ramlan berhenti. Sehari-hari kini mengelola penginapan dan membawa para wistawan berselam dangkal dengan kapal motor miliknya. Ia punya dua penginapan. Dulunya itu rumah warisan orang tuanya. Luas bangunan 90 meter, rumah ini kemudian ia renovasi dan dibuatnya jadi tiga petak. Dua petak penginapan. Satu petak lagi jadi tempat tinggal yang menyatu degan kamar mandi dan dapur.

Dua petak penginapan berpendingin ruangan, pemanas air, dan televisi plasma. Sengaja faslitas itu Ramlan sediakan agar penginapannya ramai disewa. Penginapan berpendingin memang yang biasa diburu. “Orang Jakarta tak tahan gerah,” terang Ramlan.

Perubahan hidup Ramlan sekarang mulai kelihatan. Motor darat baru sudah nongkrong di rumahnya. Selularnya handphone pintar seharga Rp 2,5 juta.

Mendengar cerita Ramlan, Rahim mengangguk-angguk. Sebagian anggukan itu sebetulnya dimaksudkan untuk rencananya membeli tanah yang dimakelari Haji Mansur. Jika tak mulai berpikir membeli tanah dan membangun rumah, nasib keluarganya yang sekarang masih mengontrak juga terancam diusir pelan-pelan.

Selepas Isya, Rahim mendatangi rumah Haji Mansur yang jembar. Berdiri di atas tanah seluas 400 meter, rumah ini bergaya minimalis dengan cat abu-abu dengan lis warna merah di beberapa tiangnya. Rahim masih bisa mencium wangi cat saat memasuki serambi.

Sebelum berubah wajah, rumah ini dulunya tak berpagar. Pembatasnya tembok setinggi setengah meter dengan serambi yang tampak leluasa terlihat dari jalan. Sekarang dipagari besi ditambah dengan pohon-pohon yang Rahim yakin tak tumbuh dan diambil dari pulau ini.

“Wak Haji, saya dengar tanah di bagian barat akan dijual?” tanya Rahim.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline