Lihat ke Halaman Asli

Anak Lantai

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tolooooong !!! Tolooooong!!! Tolooong !!! Teriak seorang perempuan paruh baya memecah pagi. Pukul lima. Teriakan bercampur tangisan mirip lolongan panjang serigala betina di hutan tak bertuan itu membangunkanku tiba-tiba. Juga isteriku. Sambil mengerjap mata, aku kumpulkan kesadaran, mencari tahu apa yang terjadi. Kulihat isteriku sudah berdiri di balik jendela kamar, mengibas gorden, membuka jendala, lalu melongok keluar. Dari balik gorden yang tersingkap itu kulihat perempuan paruh baya itu mondar-mandir di depan rumah, dan masih berteriak-teriak minta tolong. Tolooooong!!!! Tolooooong!!! Tolooong !!!! Perempuan itu tetangga kami.

Buru-buru ku raih jaket yang tergantung di balik pintu dan langsung menghambur keluar. Isteriku sudah lebih dulu. Baru keluar dari pintu rumah, perempuan itu menodongku.

“Pak, tolong pak, anak saya mau melahirkan!!!” katanya setengah berteriak sembari menunjuk rumah di sebelah  Selatan dan berjalan ke rumah yang ditunjuk itu. Ia masih menangis. Persis di depan rumah yang pintunya terbuka, ia langsung menutup mata dan berlari kearahku, dan tiba-tiba berjongkok sambil menutup mata. “Saya lemas pak. tidak tahan melihatnya!!!”

“Ya, bu, tenang …tenang saja,” hiburku

Aku masuk ke dalam rumahku, dan keluar lagi dengan menuntun sepeda motor. Niatnya membawa anak perempuannya yang akan melahirkan itu ke bidan terdekat agar segera mendapat pertolongan persalinan. Padahal aku sendiri sebetulnya tak tahu di mana lokasi bidan terdekat di tempat ini. Sungguh aku belum pernah menghadapi situasi macam ini.

Di depan rumah yang ditunjuk perempuan paruh baya tetanggaku itu, bocah perempuan lima tahun ku lihat menangis kencang. Matanya terus memandang ke dalam rumah. “Mama!!! Mama!!!”

“Bayinya sudah mau keluar!!!” teriak isteriku yang wajahnya pucat pasi. Ia berdiri mematung, menancap bumi, persis di depan rumah yang ditunjuk perempuan paruh baya tetanggaku. Tangis bocah perempuan itu makin kencang.

Aku tambah bingung. Kalau bayi sudah separuh keluar, jelas tak mungkin lagi membawanya dengan sepeda motor. Satu-satunya jalan, memanggil bidan datang ke sini. Si perempuan paruh baya tetangga kami tadi sudah tak ada. Mungkin meminta pertolongan ke tetangga lain.

Dari dalam rumah, terdengar teriakan si ibu muda mengejan. Aku makin bingung. Aku laki-laki, tak punya pertalian saudara. Tak mungkin masuk melihat dan menolongnya. Lagi pula, kalau sudah di dalam pun aku tak tahu apa yang bisa kulakukan untuk menolongnya? Aku tak memiliki keahlian membantu persalinan.

Isteriku masih terlihat bingung, gugup. Di depan rumah itu dia mematung mirip tiang listrik. Dia belum pernah melahirkan dan memang tak punya pengalaman menghadapi orang yang sedang melahirkan.

“Ke dalam!!!” perintahku
“Ngapain?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline