Berbicara mengenai sebuah dosa, maka tak akan jauh dari sebuah kesalahan yang sengaja maupun yang tidak disengaja dalam urusan agama. Karena di dalam agama, ada aturan main yang berlaku. Aturan atau lebih tepatnya disebut dengan perintah ini adalah---apabila seorang pemeluk agama tersebut melakukannya maka ia akan mendapatkan pahala dan sebaliknya---jika ia tidak melaksanakan bahkan malanggar larangan dalam aturan main yang berlaku maka ia akan mendapatkan sanksinya yaitu berupa dosa dan suatu saat nanti di akhir masa ia bisa mendapatkan neraka sebagai balasannya.
Namun mari kita kunci "agama" ini rapat-rapat dalam sebuah ruangan khusus karena tulisan ini akan menjadi sebuah masalah apabila kita mengikutkan agama di dalamnya.
Lantas mengapa ada dosa di dalam setiap pembenaran?
Pernahkah kita memberikan sebuah alasan atas kesalahan yang kita perbuat? Penulis bisa mengatakan 99% dari kita pernah melakukan itu. Contoh kecilnya ketika kita tidak mengerjakan PR semasa SD, kita selalu beralasan "Bukunya ketinggalan, Bu" dan lain sebagainya.
Entah siapa yang mengajari kalimat klasik yang menjadi jurus andalan kita semasa SD itu namun rasanya kalimat tersebut sudah tertanam jauh di alam bawah sadar kita. Padahal jika kita merenung atas perbuatan itu, kita sudah membohongi guru kita sendiri dan perbuatan bohong itu adalah perbuatan yang salah dan bisa menjadi sebuah dosa.
Hal di atas adalah contoh kecil dari ribuan bahkan jutaan contoh pembenaran yang ada di dunia ini. Penulis ingin memfokuskan tulisan ini pada pembenaran kasus LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender).
Komunitas yang mengusung warna pelangi sebagai benderanya ini sudah ada pada tahun 90-an dan bahkan sudah resmi di beberapa belahan dunia. Namun masih menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan di Indonesia karena mayoritas warga Indonesia adalah penganut agama yang taat dan menjadi Lesbian, Gay dan sejenisnya akan menjadi sebuah masalah baik di dalam keluarga maupun dilingkup masyarakat dan akan berakhir menjadi bullying yang berkepanjangan.
Beberapa kawan baik penulis adalah seorang Gay. Berbagai macam alasan mengapa mereka menjadi seorang Gay menurut opini penulis adalah sebuah pembenaran. "Aku sudah terlalu kecewa dan sakit hati dengan perempuan", "Aku menjadi seorang Gay karena aku lebih merasakan sebuah cinta ketika bersama laki-laki ketimbang bersama perempuan" atau "Tuhan sudah memberikan rasa (suka/tertarik pada lelaki) ini ketika aku masih SD". Alasan-alasan tersebut cenderung menjadi pembenaran atas pilihan yang mereka pilih. Permasalahan yang sesungguhnya bukan pada alasan-alasan mereka, yang menjadi masalah adalah bagaimana kita memahami perilaku LGBT tersebut.
Mayoritas non-LGBT akan menyalahkan perbuatan tersebut karena beberapa alasan, tentunya. Alasan dasarnya pun sama, atas pembenaran masing-masing dari mereka (Non-LGBT). Padahal menentukan salah dan benar itu cukup rumit. Terkadang dengan hanya menyalahkan tidak akan melahirkan solusi apapun.
Oleh karenanya, dalam menyikapi permasalahan diatas kita perlu berfikir secara objektif. Dalam artian kita pun harus mencoba untuk memosisikan diri kita pada kelompok tersebut. Bagaimana jika mereka adalah adik kandung kita, keponakan kita atau bahkan diri kita sendiri. Karena kebanyakan diantara merekapun masih bisa menghormati pilihan kita sebagai "hetero seksual" kata mereka (LGBT).
Memang cukup berat untuk meng-iyakan pembenaran mereka, karena kembali lagi jika perbuatan ataupun perilaku mereka sudah melanggar aturan main yang berlaku dalam agama. Di sisi lain kita pun tidak ingin menyakiti perasaan mereka. Namun ada satu solusi yang sering kali penulis sering katakan kepada mereka (LGBT) jika mereka memerlukan persetujuan atas pembenaran yang mereka utarakan yaitu dengan mengatakan bahwasanya bukan tugas kita untuk menghakimi, kita hanya ditugasi untuk memahami.