Prolog
Pada sekitaran abad ke-17 hiduplah seorang bapak filsafat modern hebat yang bernama Rene Descrates. Ia terkenal dengan sajaknya ataupun dengan kalimat filosofisnya dalam bahasa Latin yang berbunyi "Cogito ergo sum" atau dalam Bahasa Indonesia yang mempunyai arti "Aku berpikir maka aku ada". Dari pernyataan filosofisnya itu mampu merubah peradaban Eropa.
Dari proses berpikir itu manusia menjadi "ada" karena itulah hal yang membedakan antara manusia dan makhluk lainnya. Sepertihalnya sajak Buya Hamka yang berbunyi "Jika hidup sekedar hidup, babi di hutan pun hidup. Kalau bekerja sekedar bekerja, kera juga bekerja." Sajak sarkas tersebut menjadi tamparan keras bagi manusia-manusia yang "tidak berpikir" dalam menjalani hidupnya.
Kemudian pada abad ke-20 munculah seorang filsuf kontemporer Perancis yang bernama Jacques Derrida. Menurut pakar teori dekonstruksi ini bahwasanya bahasa itu bersumber pada teks ataupun "tulisan" karena tulisan adalah bahasa yang maksimal karena tulisan tidak hanya terdapat pada pikiran manusia saja, namun konkret di atas teks ataupun halaman. Tulisan membuat pembaca mengerti isi pemikiran dari penulisnya. Maka "Aku menulis maka aku ada" adalah hal yang perlu diamini dan diimani oleh manusia. Pasalnya seseorang akan hidup "abadi" karena ia menulis. Buktinya ada pada tulisan-tulisan Plato mengenai hidup Socrates jutaan ribu tahun yang lalu. Lantas jika Plato tidak menuliskan perjalanan hidup Socrates, maka mungkin saja Socrates tidak akan dikenang dan dikenal hingga saat ini.
Terbesit ingatan ini pada sebuah sajak dari Pramoedya Ananta Toer yang berbunyi "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."
Mulai Menulis
Dari beberapa sajak dan teori-teori orang hebat lantas tidak membuat penulis untuk segera menuangkan pemikiran-pemikirannya ke dalam sebuah tulisan. Beberapa alasan seperti "Tulisanku buruk", "Aku terlalu sibuk" dan bahkan "Karya-karyaku seperti sampah" menjadi pembenaran penulis untuk tidak segera menulis. Padahal semua alasan-alasan itu jika kita artikan secara harfiah adalah "Aku malas". Kemalasan adalah musuh utama seorang penulis.
Kemudian bertemulah penulis dengan seorang narablog. Pertemuan itu adalah pertemuan yang sangat berkesan karena kata-kata dalam kalimatnya sukses besar menampar batin penulis untuk memulai menulis. "Mahasiswa teknik bisa menciptakan robot, peralatan elektronik dan lain-lain. Mahasiswa kedokteran pun sama, mereka akan menjadi dokter dan bermanfaat bagi kesehatan masyarakat. Lantas apa yang telah kau perbuat sebagai mahasiswa sastra jika kau saja enggan untuk menulis?" Kalimat itu telak menusuk hati penulis dan memang, penulis adalah seorang mahasiswa jurusan Sastra Inggris di salah satu kampus negeri di Kota Bandung.
Menjadi Narablog
Menulis saja tidak cukup, karena sebuah tulisan jika tanpa pembaca ibarat sebuah burung yang ingin terbang tinggi namun tidak mempunyai sayap. Pemikiran itu seketika muncul ketika tulisan-tulisan penulis hanya menjadi tumpukan tak berguna di kamar kos.
Akhirnya pada awal September 2018 muncul sebuah ide untuk mempublish sebuah tulisan ke Kompasiana dan ternyata hal itu membuat "candu". Tulisan pertama sukses menarik pembaca kurang lebih hingga 300 orang. Kecanduan itu memuncak ketika salah satu travel writing penulis menjadi headline di Kompasiana. Sungguh sebuah kebanggaan tersendiri bagi penulis. Penulis pun mendapat banyak sekali pelajaran berharga di Kompasiana, mulai dari bagaimana caranya menulis artikel yang baik dan benar hingga mendapat inspirasi untuk bersusastra seperti membuat cerpen dan puisi.