Lihat ke Halaman Asli

Dua Jiwa

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tanah yang menyimpan jasadnya bergetar. Kerumunan belatung dan semut rang-rang meraja di atas permukaannya. Tak berapa lama, juga tidak sebentar, lalat-lalat mulai berdansa, siap menyusup ke dalam setiap celah lubang tanah yang menyimpan bangkai manusia bernama Dayat itu. Bagiku, tidak mungkin kugali tanah itu lalu kubersihkan lagi. Melanggar aturan pemakaman. Aku hanya bisa menaburkan bunga di atasnya, memanjatkan doa untuk dia, untuk Dayat.

***

“Kamu tahu?” tanya Dayat padaku.

“Tahu apa?”

“Tentangku..”

“Tentu saja. Sampai sedalam-dalamnya. Sudah lama kutangkap kamu yang terjebak dalam imajimu itu sendirian.”

“Maksudmu?” Dayat mulai bernada gusar.

Sebenarnya aku malas menjelaskan deskripsiku mengenai dia. Aku takut dia tersesat dalam pilihannya sendiri. Antara menjadi malaikat atau menjadi setan.

“Kau memang tokoh panutan masyarakat kebanyakan.” lanjutku.

“Lalu?”

“Kau penulis yang inspiratif.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline