Lihat ke Halaman Asli

Siapa Mampu Menghentikan “Malpraktek Hukum” KPK?

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk sementara Jokowi berhasil mencegah terjadinya turbulensi politik dengan menunda pelantikan Komjen Pol. Budi Gunawan sebagai kapolri. Tekanan berat dari parpol pengusung dan relawan pendukung memaksa Jokowi mengambil keputusan “moderat”, menunda bukan membatalkan.

Namun demikian polemik masih berlanjut dengan menjadikan KPK sebagai sasaran tembak. Jika sebelumnya, ketika DPR telah menyetujui Komjen Pol. Budi Gunawan bola panas berada di tangan Jokowi. Kini dengan adanya penundaan pelantikan Komjen Pol. Budi Gunawan, bola panas berpindah ke KPK.

Banyak pihak yang menuding, dalam kasus Budi Gunawan KPK telah melakukan “malpraktek hukum”. KPK dinilai janggal dalam menetapkan status tersangka pada Budi Gunawan karena hanya berdasarkan data dari PPATK, bukan berdasarkan keterangan saksi-saksi. Bahkan Budi Gunawan sebagai tersangka belum pernah diperiksa. Banyak yang menuding KPK telah melanggar KUHAP.

Pengamat Kebijakan Publik dan Hukum, Zulheifi Yanda termasuk yang mempertanyakan langkah ganjil KPK yang tiba-tiba menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka tanpa melakukan pemeriksaan saksi-saksi. Pertanyaannya, tanpa memeriksa saksi-saksi, lantas darimana KPK mendapatkan dua alat bukti tersebut. Apalagi kasus yang dituduhkan pada Budi Gunawan adalah gratifikasi yang mengharuskan minimal dua tersangka. Tidak ada dugaan gratifikasi dengan tersangka tunggal. Kalo Budi Gunawan sudah jadi tersangka, lalu tersangka lainnya siapa? “HANTU”?

Yuk mari kita bedah contoh kasus gratifikasi:

Kasus cek pelawat: 20 lebih anggota DPR penerima gratifikasi, lalu Miranda dan Nunun sebagai pemberi gratifikasi.

Kasus tata ruang Bogor: Rahmat Yasin dan Muhammad Zairin sebagai penerima gratifikasi, lalu YY sebagai pemberi gratifikasi.

Kasus impor daging: Luthfi Hasan Ishaq dan Ahmad Fathanah sebagai penerima gratifikasi, lalu Maria Elizabeth Liman dan dua anak buahnya sebagai pemberi gratifikasi.

Dan masih sangat banyak kasus-kasu gratifikasi yang ditangani KPK, dan tidak pernah ada tersangka tunggal dalam kasus gratifikasi di KPK. Jadi jelas bukan, semua tersangka kasus gratifikasi tidak pernah tunggal karena selalu ada pemberi dan penerima gratifikasi. Lalu bagaimana KPK bisa menentukan Budi Gunawan sebagai tersangka tunggal kasus gratifikasi?

Untuk mengetahuinya, Jokowi harus membuat tim independen untuk mengaudit “malpraktek hokum” yang dilakukan oleh KPK. Jika SBY dulu membentuk tim 8 untuk membebaskan Bibit-Chandra dalam kasus Cicak vs Buaya. Maka tidak ada salahnya, Jokowi juga membentuk tim independent untuk memberikan kepastian hukum pada Budi Gunawan. Karena fungsi hukum adalah untuk memberikan kepastian. Jangan sampai hukum dipolitisasi dan dibiarkan bermain diwilayah abu-abu yang penuh ketidakpastian.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline