Lihat ke Halaman Asli

Alaek Mukhyiddin

Aktivis Ahlusunnah Wal Jamaah

Jeritan Ibu yang Terabaikan

Diperbarui: 24 September 2019   06:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ketika itu, di sebuah kampung kumuh, tampak Randi merenung semenjak tadi. Entah sudah berapa lama ia terpekur diam di depan rumah yang lebih menyerupai gubuk kecil itu. Nampaknya ia sedang berangan-angan untuk menggapai impian. Impian seorang remaja dalam kesuksesan mengarungi samudra kehidupan. 

Mungkin sebentar lagi Randi akan bertindak mengenai hasil dari apa yang ia angankan barusan, merantau ke luar kota. Tapi masalahnya randi kasihan dengan ibunya yang tiada seorangpun menemani. Ayahnya sudah meninggal bertahun-tahun lamanya. Sekarang yang tertanam dalam pikirannya hanya dua: ibu atau merantau. lama sekali pikiran itu bergumul dalam tempurung kepalanya. 

Tapi tetap saja keinginan Randi untuk merantau lebih Randi pilih. Ia tak mau setiap hari harus bekerja memungut sampah. Ia tak mau setiap hari harus makan nasi basi. Ia ingin membahagiakan ibunya dengan tempat tinggal yang layak. 

Ia ingin ibunya tak lagi dihina karena baju penuh tambalan dengan membelikannya pelbagai busana mahal. Ia ingin merasakan kenikmatan hidup bersama ibunya dengan tanpa memungut sampah di setiap harinya. Namun itu semua tidak akan terjadi kalau dirinya masih saja tetap berada di lingkungan kumuh itu. Dia harus pergi tuk menjemput impian yang terpatri dalam hati. Tapi bagaimana dengan ibunya?

***

Malam itu Randi mendatangi kamar ibunya yang hanya berisi beberapa lembar kardus dan bantal lusuh hasil pungutan dari tempat sampah. Randi mendekat. Tampak wajah kusut agak tua yang tertidur pulas. Mungkin capek karena seharian berjualan permen gulali. Tak tega ia membangunkan, sehingga Randi memutar badan, keluar. 

Randi berharap ada waktu yang tepat untuk mencurahkan keinginannya pada ibunya. Randi duduk di depan rumahnya, menatap bulan yang bulat tak sempurna. Terekam dalam ingatannya bagaimana ibunya menyuapi makan, padahal dirinya sendiri lapar. Terekam bagaimana Saat itu dirinya mendatangi ibunya dengan rengekan tangisan. 

Dirinya mengaku diejek teman lantaran tiada mampu membeli baju lebaran. Dirinya mengancam akan meninggalkan ibunya bila masih saja tak ada baju lebaran di tahun depan sehingga ibunya mengemis berbulan-bulan karena ingin membelikannya baju baru agar tak lagi malu.
"Ah, betapa besar perjuangan ibu demi membahagiakanku." Batinnya dalam hati. Lagi-lagi Randi disergap keraguan untuk meninggalkan kampong halamannya.
" Barangkali aku harus meninggalkannya sebentar saja." Gumam Randi dalam hati

***

Di tengah pintu, Sutina masih saja memandangi arah kepergian Randi dengan mata berkaca-kaca. yah, dirinya mengizinkan anak kesayangannya itu  untuk merantau meninggalkannya. dirinya ingin melihat anaknya sukses bahagia. tidak sepertinya yang hanya bisa berjualan permen gulali saja. Sutina tidak memberinya bekal apa-apa, melainkan hanya bekal makanan sederhana.

"Tak perlu bekal yang banyak. cukup dengan tekat sekuat baja." begitulah jawaban Randi saat Sutina tak bisa memberinya harta benda. Sutina tersenyum melihat keteguhan yang mengakar kuat di hati anaknya itu. sebuah senyuman paksa agar Randi bahagia melihatnya. mungkin sebuah utas senyum terakhir sebelum ditinggal anak semata wayangnya. Ah, mungkin saja!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline