Lihat ke Halaman Asli

Alaek Mukhyiddin

Aktivis Ahlusunnah Wal Jamaah

Kelana Tangis Sang Kekasih

Diperbarui: 21 September 2019   08:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu cuaca seperti biasanya. Cerah, tapi tak secerah hari Ara yang sebentar lagi akan ditinggal kekasihnya, Golan. Di salah satu bandara, mereka berhadap-hadapan dengan muka sendu berderai air mata. Mata Golan berkaca-kaca. Tak rela tuk meninggalkannya. Golan tak ingin Ara tahu akan penyakit yang diidapnya, sehingga ia beralasan akan meninggalkannya karena bekerja ke luar kota. 

Andai Ara tahu akan kenyataan yang sebenarnya, mungkin hatinya semakin memberontak tak terima. Andai Ara tahu bahwa umur Golan tak lagi lama, mungkin dia akan meraung-raung pada takdir digariskan untuknya. Ah, andai saja!

Bagi Golan sendiri Ara sangatlah istimewa, karena hanya dialah yang dapat mengajari Golan akan adanya kasih sayang. Dulu, sebelum mengenalnya, Golan hidup acuh terhadap adanya wanita. Tak diindahkan berseliweran perempuan cantik dihadapannya. Golan berkeyakinan bahwa wanita hanyalah penghancur kehidupan. 

Tapi sejak mengenalnya, Golan merasa bahwa cinta benar-benar ada, lewat perempuan sederhana, perhatian dan tak banyak bicara. Sebentar lagi tak akan ada lagi tempat bersandar bagi Ara. Tak akan ada lagi yang menjadi penyemangat saat terbangun dari tidur paginya. Tak akan ada lagi tiang penyangga saat dirinya terjatuh. Ah, Golan.

"Cintaku seperti tali gelang ini yang akan terus melekat tak terputus di tanganmu. Cintaku seperti buah gelang yang saling melingkar berdekatan. Tak akan pernah saling melupakan meski talinya suatu waktu ditakdirkan terputus. Ragaku memang akan pergi jauh, tapi yakinlah bahwa hatiku tetap bersamamu dan suatu hari nanti pasti aku akan menjemputnya untuk menyatukannya kembali."  

Ujar Golan dengan suara yang dikuat-kuatkan dan hati yang ditabah-tabahkan. Yah, Golan memberinya sebuah gelang yang menjadi saksi bisu perpisahan mereka. Sebuah gelang yang sekaligus menjadi ekspresi cintanya. Di tempat ini mereka akan berpisah. Bertahun-tahun. Melewati bergantinya beberapa musim, kejadian serta perubahan iklim kehidupan.

Mata Ara sembab, masih saja menatap pesawat yang kian meninggi membawa Golan pergi. Awan telah merampas Golan dari hatinya. Angin telah menyeret Golan jauh darinya. Bumi telah mengusir Golan dari dekapannya. Seakan-akan Golan akan tertelan masa. Ara membiarkan air matanya merembes, menganak sungai di pipi beningnya. 

Tangannya ia biarkan diam tak menyeka. Keinginan ara hanya satu, Golan kembali dan menghapus air matanya. Pelan-pelan Ara menjatuhkan lututnya ke bumi. Mungkin karena sedih yang membara tak lagi mampu disanggahnya. Mungkin karena separuh dari jiwanya telah hilang pergi entah kemana. Mungkin saja!

***

Detik telah berlalu berganti tahun. Pelan-pelan rasa kehilangan telah enyah dari jiwa Ara, meski rasa rindu pada Golan masih tetap ada. Setiap malam Ara selalu melihat bulan dan minitip salam untuk Golan. Terlihat bodoh memang, tapi bagaimana lagi. Jiwanya telah dirundung rasa rindu yang terlalu. Di bawah bulan, Ara mengelus gelang pemberian Golan, sambil menangis sesenggukan.

Sementara nun jauh di sana, Golan terkulai lemah di pembaringan rumah sakit. Tiada berdaya oleh penyakit yang semakin brutal menyerangnya, kangker stadium 4. Lamat-lamat terlukis wajah Ara dalam ingatannya. Ingatan seorang kekasih yang berada di ujung tombak kematian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline