Lihat ke Halaman Asli

Al ZidaneFathurr

Artikel Writer - Illustrator - Reader

271 Triliun dan Sepucuk Surat Dari Masa Lalu

Diperbarui: 2 Januari 2025   17:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Harvey Mouis dan Sandra Dewi (Sumber: Instagram Sandra Dewi)

            Artikel ini dibuat pada saat penulis memasuki fase yang kurang mengenakan. Masalah perihal ekonomi, pasti semua orang pernah mengalaminya. Dari mulai kerjasama dengan beberapa client yang mesti terhenti karena satu dan lain sebab. Belum catatan hutang yang mulai menumpuk, kian menambah cobaan di fase quarterlife ini.

            Sebagai seseorang yang memegang prinsip stoicisme dalam hidup, jujur kali ini rasa frustasi sedikit berinang di hati. Bahkan, tulisan ini pun saya tidak tahu harus dimasukan ke rubrik apa. Artikel kah? cerpen kah? atau cerbung mungkin?. Ah, tim editor rasanya lebih faham.

            Ada sebuah kutipan yang selalu saya pegang teguh tiap kali kegagalan di masa depan menghantui benak saya. Rasanya sedikit lupa mengenai kapan dan judul buku apa yang dibaca kala itu. Di buku tersebut, ada kutipan yang bunyinya seperti ini;

            "Tugas kita selaku manusia hanyalah berikhtiar semaksimal mungkin. Entah sukses atau tidak, biarkan itu menjadi tugas Yang Maha Kuasa. Yakinlah, walau tuhan tidak pernah menjamin kesuksesanmu, tapi tuhan menjamin "Fainna ma'al 'usri yusraa" (Setiap kesulitan itu terdapat kemudahan". 

            Mengingat kutipan tersebut, sedikit meneguhkan hati saya untuk selalu mencurahkan usaha semaksimal mungkin dalam setiap hal yang sedang ikhtiarkan. Tapi, tetap saja. Dalam keadaan tertentu, hati seringkali mendominasikan perannya dari pada fikiran. Ratusan buku yang di baca, jutaan nasihat yang didengar, begitu tidak bergunanya jika urusan hati sudah mendominasi.

            Hal yang tidak mungkin hanya sebuah kebetulan. Tulisan ini dibuat pada pekan yang sama di kala berita mengenai dana korupsi sebesar 271 T dari tambang timah sedang hangat-hangatnya.

           Betapa sakit hati ini mendengar berita tersebut. Di satu sisi masih banyak orang seperti saya sedang dihadang mati-matian oleh keadaan ekonomi yang tidak stabil. Di sisi lain, ada seorang berperilaku tamak telah menikmati berbagai kemewahan dengan total 271 Triliun!. Apalagi, hakim memvonis hukuman yang sangat tidak setimpal dengan perbuatan pelaku. Kita berada di negara yang sama. Tetapi mengapa seolah dimensi kita begitu berbeda?. Apanya yang "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?".

           Memang, adil itu tidak harus setara. Adil itu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Tapi, apakah adil untuk sekor binatang yang melahap korupsi 271 Triliun di vonis hanya 6,5 tahun?. Jika itu yang menjadi taraf adil di negri ini, maka banyak orang secara sadar ingin melakukan hal yang serupa.

           Di bawah perasaan geram bercampur sakit hati, saya membuat tulisan ini. Ternyata benar, meski saya menjadikan baca buku sebagai hobi, seolah tidak ada nasihat dan petuah yang dapat mengontrol luapan emosi saya di tulisan ini. Maka jangan heran jika anda menemukan banyak padanan kata yang dirasa tidak sesuai kaidah.

           Lewat direct message aplikasi WhatsApp dari kontak milik seseorang yang saya sangat kenal karena perangai baiknya, dia meneruskan sebuah postingan yang "mungkin" ia dapat dari media sosial sebelah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline