Lihat ke Halaman Asli

Bayangan semu dibalik pendidikan

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Segemilang apapun pencapaian pendidikan nasional saat ini tentunya tetap menyimpan cacat dalam jiwanya, acap kali kita menyaksikan perombakan dalam pendidikan diberbagai aspek namun tetap saja seolah usaha tersebut tetap menyisakan cacat, karena memang manusia memilki kapasitas yang terbatas untuk menciptakan karya yang sempurna.Namun keterbatas tersebut bukanlah alasan untuk menghentikan setiap usaha membenahi segala kekeliruan yang ada. Ada pribahasa yang mengatakan “hanya keledai yang jatuh pada lubang yang sama” artinya manusia jika tidak terus berusaha mengambil hikmah akan sama halnya dengan keledai, manusia sama halnya dengan keledai jika mengetahui satu kekeliruan namun tetap diam dan patuh. Sikap yang demikian itu bukanlah fitrah manusia, karena manusia bukanlah pohon yang hanya mampu terdiam jika akan dirobohkan.

Berbicara pendidikan sama halnya membicarakan kehidupan manusia secara kesuluruhan, karena pendidikan adalah essensi dari kahidupan, segala aspek kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari hal ini, politik, ekonomi, social, hokum, kebudayaan dan sebagainya.Pendidikan adalah tolak ukur kemakmuran, kesejehteraan, dan keadilan suatu bangsa, bangsa yang tidak antusias terhadapa segala daya yang bersinggungan dengan itu adalah mustahil mampu beranjak dari keterpurukan.”MUSTAHIL”

Namun apakah yang ada di pikiran kita tentang pendidikan?kebanyakan tentu akan mengidentikkan dengan sekolah, kampus, dan pranata pendidikan formal lainnya.Serta kita akan menjumpai pendidikan semakin menyempit pada satu keahlian saja. Ini menunjukkan bahwa ada semacam pengerdilan makna yang terus menerus diterima tanpa Tanya. Ironisnya lembaga pendidikan yang concern dalam pendidikan itu sendiri seolah menggiring pada pemahaman tersebut. Hal yang demikian ini menciptakan paradigma dikotomik yang tidak adil antara yang berpendidikan dan tidak berpendidikan, yang berpendidikan dipahami sebagai seseorang yang tidak mengenyam pendidikan formal dan yang tidak berpendidikan adalah orang-orang yang tidak mengenyammnya, dan ironisnya yang terakhir itu selalu termarginalkan. Ini pemahaman yang sesat dan menyesatkan bodoh dan membodohkan. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa pola pendidikan formal memiliki andil besar dalam dinamika kehidupan manusia, namun paradigma dikotomik gegabah tersebut tidak biasa dibenarkan.

Apa yang saya maksud disini adalah kita harus memahami sesuatu secara untuh, tidak parsial terpenggal-penggal. Pemahaman yang sepenggal-sepenggal inilah yang menyebabkan pendidikan masih cacat dan banyak kekeliruan. Ditambah lagi dengan kehidupan yang serba cepat dewasa ini yang menuntut manusia untuk bergerak cepat, manusia menjadi tergesa-gesa, ada semacam ketakutan yang bersemayam dalam jiwanya yang tertanam sungguh dalam hingga tidak mampu menyadari bahwa mereka itu takut menghadapi hidup.

Corak kehidupan serba cepat yang terindoktrinisasi dari globalisasi—yang sungguh erat dengan corak kapitalisme—inipun menyelinap masuk secara massif pada ranah pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan semakin berfokus pada bagaimana menjawab kebutuhan serba cepat ini, menjamurnya sekolah kejuruan yang menjanjikan mudahnya mendapat pekerjaan, lahirnya kelas akselerasi dari rahim nafsu ketergesasaan.Tidak terlepas dari lembaga pendidikan yang mencetak tenaga pendidik dan kependidikan pun tidak terlepas dari unsur-unsur ketergesa-gesaan yang mengaburkan fokus para pelajar dalam memahami hakikat dari pendidikan itu sendiri. Kita tidak perlu terperangah ketika mengetahuai bahwa tidak sedikit para calon pendidik ataupun kependidikan yang tidak mampu menjelaskan “apa” itu pendidikan.Jika mampu hanyalah sekedar ada dalam rangkaian kata-kata tanpa memahami hakikat, itu sama halnya dengan burung beo. Ini bukanlah semata-mata kesalahan mereka, memang pabrik yang disebut dengan kampus atau sekolah itu tidak terlalu memusingkan pertanyaan mengenai, apa, bagaimana dan sebagainya, yang terpenting bagaimana memberi pelayanan atau dalam kata lain menjawab kebutuhan serba cepat ini.

Sekali lagi, kehidupan serba cepat ini adalah pola kehidupan globalisasi, yang didalamnya mengandung unsur, kapitalisme, konsumerisme, dan lain sebagainya. Apa yang sebenarnya menjadi pondasi system globalisasi ini tidal lain adalah “pasar modal” namun bukan dalam pengertian seperti yang kita saksikan seperti bursa efek, ini lebih kepada pengertian pasar bagi pemilik modal. Dimana monopoli dari para borjuis akan kita saksikan didalamnya.

Tentu kita pernah mendengar satu ungkapan bahwa globalisasi adalah keniscayaan yang tidak mungkin dihindari, siapapun yang tidak masuk dalam system ini akan binasa. Ini adalah anggapan yang salah, karena sesungguhnya system ini akan runtuh tanpa antusiame masyarakat kebanyakan, system ini ditopang oleh penyakit yang disebut konsumerisme yang buta yang ditanamkan dalam milyaran kepala manusia, mengapa buta?konsumtif tidak salah jika kita letakkan pada tempat yang proporsional, dan sebaliknya, lebih buruk lagi akan menjadi bencana bagi kehidupan masyarakat dunia, ini dikarenakan kita semakin terdorong untuk memenuhi “keinginan” dari pada “kebutuhan”. Sungguh bumi ini cukup memberikan segala kebutuhan manusia namun sangat tidak cukup untuk memenuhi keserakahan manusia. Bayangkan jika semua manusia di bumi ini yang jumlahnya milyaran ini memenuhi segala “keinginanannya”, jangankan semua 10 orang macam itu saja akan membuat perdaban manusia ini berakhir.Bukankah segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik??.

Dengan demikian, pantaskah kita takut pada kehidupan serba cepat ini?takut kekurangan?takut miskin dan ketakutan-ketakutan imajinatif lainnya. Jika penyakit takut masih bersemayam dalam jiwa manusia, maka efektiflah segala proganda para manusia-manusia serakah yang hanya segelintir.Dan bangsa dari Negara dunia ketiga semacam Indonesia hanya mampu berkelit, marah jika diteriaki bangsa pecundang, namun tidak berani untuk belajar.

Inilah yang menyebabkan pendidikan menjadi cacat, karena para terpelajar menjadi kehilangan focus, kehilangan orientasi sejati, kehilangan konsentrasi.Fokus dan tanggung jawab seorang pelajar itu adalah “ilmu”,dan tidak sepantasnya pendidik (guru, dosen dll) membuyarkan konsentrasinya dengan menakut-nakuti atau mengiming-imingi pada hal-hal yang bersifat materialistis. melakukan sesuatu tanpa ilmu “yang utuh” akan berakhir pada bencana. Wallahu a’lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline