Lihat ke Halaman Asli

Menerawang Tapal Batas

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Berangkat dari asumsi “subjektif saya” bahwa dewasa ini tidak ada satu pun bentuk kemapanan di dunia ini yang terbebas dari kepicikan dan tindakan tanpa pikir, saya menganggap adalah sebuah keniscayaan untuk menggugat kemapanan-kemapanan tersebut sebagai upaya menghidupkan dan membumikan kembali semangat amar ma’ruf nahi mungkar—semangat yang akhir-akhir ini dimaknai secara sempit dan sembrono.

Saya percaya sekaligus yakin, bahwa segala fakta sejarah yang menyangkut kehidupan manusia tidak terjadi secara kebetulan, termasuk pula fakta sejarah tentang tatanan kehidupan global saat ini yaitu “globalisasi”.

Kita mungkin sudah terlanjur menerima anggapan bahwa globalisasi—beserta paham-paham yang diusungnya—adalah sesuatu yang tidak mungkin untuk dihindari, dan barang siapa tidak percaya kepada “hantu”—entah kata apa yang lebih tepat—globalisasi ini akan mati sia-sia atau paling tidak hancur tak bersisa. Dan nyaris tanpa sedikitpun keraguan masyarakat modern membenarkan penyataan tersebut, hal itu dibuktikan dengan gegap gempitanya masyarakat modern membumikan semangat-semangat dan paham-paham yang lahir dari rahim globalisasi seperti, semangat akan prestasi, persaingan (kompetitif), konsumtif, obsesi yang tinggi terhadap pencapaian-pencapaian materialistik, yang lebih menampilkan paham akan kerakusan dan ketamakan. Dan diakui atau tidak, paham-paham tersebut adalah fondasi pembangunan dunia saat ini, paham-paham tersebut pun hidup dalam lembaga-lembaga yang berperan sebagai laboratorium kehidupan seperti halnya sekolah-sekolah formal, maupun perguruan tinggi. Artinya kaum terpelajar dewasa ini memang dengan sengaja dikondsikan untuk membenarkan paham-paham tersebut, yang pada akhirnya kaum terpelajar harus puas hanya menjadi scrub-scrub kecil dari sistem raksasa globalisasi. Semangat-semangat pembaharuan secara sistematis tidak akan dihidupkan dari pola pendidikan yang seperti ini.

Memang, pada mulanya semangat-semangat dalam lingkup globalisasi seperti industrialisasi, serta kajian ilmiah objektif, membawa anugrah kepada manusia yang sebelumnya hidup dalam nuansa kegelapan akibat otoritas religius konsevatif kaku yang menjadi aturan-aturan baku saat itu, kemudian menciptakan akumulasi kebutuhan akan perubahan dan meledak dengan timbulnya revolusi perancis yang menghebohkan itu, yaitu transisi dari masa agraria ke arah industri, yang kemudian hari menjelma menjadi setan “kapitalisme”, namun sejarah mencatat hanya sekelompok orang saja yang menikmati anugrah itu, yaitu masyarakat kelas menengah, yang kemudian munculah revolusi bolshevik dari kaum tsar dirusia dengan semangat emansipasi humanisme oleh kaum buruh.Terlepas dari motifasi terselubung apa yang ada pada revolusi yang melahirkan negara komunis pertama tersebut, yang jelas saat ini semangat-semangat emansipasi bervisi kemanusiaan tersebut sudah hilang tertelan zaman.

Kultur globalisasi sering dikaitkan atau diidentikkan dengan kebebasan, anggapan yang menurut saya salah sama sekali, bagaimana tidak? manusia seperti apa yang membenarkan pernyataan tersebut padahal disaksikan dengan mata kepala sendiri, bahwa kuasa sang modal “tuhan globalisasi”—mungkin juga tuhan manusia dewasa ini—begitu membelenggu kebebasan manusia. Modal atau sebut saja uang—walaupun terminologi modal tidak selamanya menyangkut uang—yang sejatinya adalah sebatas penunjang hidup, kini menjadi tujuan hidup, kita melihat bagaimana bersemangatnya dan sensitifnya orang-orang ketika berurusan dengan subjek modal ini.

Manusia dewasa ini, sungguh sangat terobsesi akan pencapain-pencapaian materialistik sementara. Lalu dimana kebebasan manusai ketika di hubungkan dengan subjek ini (modal)? Jawabanya adalah tidak ada. Apakah kita telah menggantikan tujuan hidup kita dari sesuatu yang abadi dan luhur kepada obsesi untuk mengejar pencapain-pencapaian materialistik sementara?Apakah kita sudah kehilangan ras kemnusiaan kita?Atau kita memang tidak menyadari kegiatan atau perkejaan kita saat ini semata-semata sebagai mata rantai sebagai gigi mesin, dari sistem raksasa globalisasi, atau dalam arti kita—tanpa sadar diri—telah menjadi bagian dari 99% kelompok yang melayani serta menjadi budak dari 1% kelompok dari seluruh populasi manusia dalam iklim kapitalisme.

Dalam sistem ini apa yang kita lihat adalah, penggunaan merk-merk yang begitu memerangkap kehidupan dan kebudayaan kita. Sebagai contoh jika kita membeli sepatu dengan merk ternama, kita sesungguhnya memiliki kisah globalisasi di tangan kita, kulit dari sepatu itu mungkin diproduksi di argentina, kemudian dikirim ke philipina, atau indonesia, di produksi oleh sub-kontraktor korea, melalui broker hongkong yang bertransaksi dengan perusahaan di oregon, jadi terlihat hal ini dari sudut pandang dekontruksinya.Jika bisa melacak semua komponen ekonomi global, dan tidak hanya itu, tapi juga mencari tahu berapa banyak uang yang dihabiskan perusahaan sepatu itu untuk iklan tahun lalu, dan berapa banyak uang yang mereka bayarkan kepada para atlit superstar untuk mempromosikannya, maka kita akan mendapatkan disparitas kehidupan global, antara pemenang dan pecundang.

Telah ada ledakan aktivitas untuk penyelidikan merk-merk, dimana ada orang-orang berkampanye untuk mengelupas apa yang ada dibalik merk-merk itu, mengelupas kulit luarnya untuk mengetahui bagimana barang-barang itu diproduksi untuk kemudian diinformasikan kepada masyarakat. Dan tentu saja, hal ini sangat tidak nyaman bagi perusahaan-perusahaan itu, karena kesulurah sistem mereka bergantung kepada dunia produksi, dan dunia konsumsi.

Sungguh jika kita melakukan penelitian yang sungguh-sungguh terhadap sistem global yang ada saat ini, akan kita jumpai hal-hal yang melukai rasa kemanusiaan terdalam kita.

Globalisasi adalah sebuah sistem yang mengikat industri di seluruh dunia agar bekerja pada bisnis yang sama, sebuah mesin yang secara global memenuhi kebutuhuan segelintir orang, mesin yang kepada kita diajarkan, bahwa umat manusia akan binasa tanpa hal itu. Bagimanapun manusia ditipu untuk mempercayai, bahwa tanpa sistem ini, manusia tidak makan selamat.Padahal kenyataannya adalah sebaliknya bahwa tanpa dukungan kita sistem ini tidak akan selamat. Masyarakat yang tidak pernah mengajukan pertanyaan, masyarakat yang tidak pernah melewati batas pandangan yang di berikan sistem ini, akan membutuhkannya, dan menyukainya.

Kita sesungguhnya mengalami satu krisis, krisis yang tidak mampu di atasi oleh analisa politik biasa, analisa ekonomi maupun disiplin-disiplin keilmuan lainnya. Adalah krisis kesadaran, dimana hilangnya tapal batas antara kebaikan dan keburukan. Bahkan tidak mampu untuk menyadari bahwa kita berada di dalam penjara tanpa terali besi.

Yang kita butuhkan bukanlah “bagaimana” untuk menghadapi zaman yang menggila ini sampai-sampai ada yang mengatakan “zaman wes edan ra melu edan ra keduman”, atau bagaimana kita harus bersikap?namun bukan berarti itu tidak dibutuhkan, yang kita butuhkan saat ini adalah untuk memjawab pertanyaan apa sesungguhnya yang terjadi di dunia ini?. Pada tahap ini, menggugat adalah sebuah keniscayaan, menggugat sampai pada akarnya, yang jarang kita jumpai pada lembaga-lembaga pendidikan saat ini.

Bagaimana pun akhirnya, dunia tidak membutuhkan Mcdonal, Mall-Mall yang mentereng megah, keinginan untuk memiliki perkakas-perkakas Tekhnologi-tekhnologi yang mengasingkan dan memperdaya manusia, generasi muda tidak membutuhkan gaya-gayaan ,Trend berpakaian /fashion serba bermerk, tempat-tempat dugem. Dunia sangat lebih membutuhkan PERUBAHAN sejak dalam berpikir. Perubahan-perubahan yang ada saat ini, hanyalah perubahan kosmetik yang tidak membawa manusia kemana-mana.

Bgaimanapun kita membutuhkan perubahan dan itu tidaklah mudah, namun usaha sekecil apapun lebih berarti dari pada menyerah dan membiarkan kesadaran diperkosa zaman. Jika kita ingin merubah arah masyarakat ini, jika kita ingin memberikan kontribusi yang baik, jika kita ingin mereformasi tatanan kehidupan masyarakat ini, adalah bijak untuk terlebih dahulu mereformasi diri kita pribadi terlebih dahulu.Berani mengambil sikap adalah tantangan yang untuk menghadapi dunia yang busuk pada intinya namun berkilau bagai emas pada sisi luarnya.Wallau’alam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline