Lihat ke Halaman Asli

[Cerpen] Geger Desa

Diperbarui: 28 Juli 2016   04:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: jokowidiary.blogspot.com

(1)
Sebuah penampakan masa depan,

Di luar sana, banyak sekali cercaan oleh, perangkat desa, tuan tanah, militer, petani kaya, Ijon, lintah darat. Tingkah lakunya yang dianggap kontroversial, nyeleneh, sehingga banyak kekagetan, kritikan, sampai celaan yang tak kurang-kurang membonsai Yanto. Ia sabar dan tetap tabah, memendam amarah dan tetap menampilkan sosoknya, yang ramah dan bijaksana, kepada siapapun tanpa terkecuali.

Sejak naiknya Yanto (seorang pemuda) jadi kepala desa dan menggantikan Ki Jarot (orang tua bodoh dan korup). Sebagian besar perangkat desa yang lebih lama, jika boleh disebut senior. Telah disingkirkan oleh Yanto dari jabatan sebagai perangkat desa. Hampir kesemuanya diisi oleh pemuda. Ia tahu, pemuda adalah pelopor sekaligus penggerak. Siapa sadar dan mampu memanfaatkan potensi dan energi pemuda akan meroleh keberhasilan sebesar-besarnya. Jika itu pemerintahan, maka akan memperoleh kesejahteraan dan keadilan yang sebenar-benarnya.

Oleh karena keseluruhan antek Ki Jarot, termasuk yang dianggap senior dalam perangkat desa, telah disingkirkan, maka silih berganti, Yanto yang mendapati orang-orang yang menjadi oposisinya. Mereka yang kerap mengganggu kerja dan program progresif desa yang ia canangkan. Mendapat tekanan itu, Yanto tetap kuat, itu karena ia mendapat kepercayaan rakyat Tunggak, terkhusus Sanikem dan Suminyem.

Dua orang sesepuh desa itu, dianggap oleh Yanto adalah panutannya. Keduanyalah yang  memberikan pengertian yang menggelitik tentang adat desa. Dimana ajaran ‘bapakisme’ yang kukuh di desa Tunggak, pengagungan se-agung-agungnya pada orang tua, dianggap menjadi muara tidak majunya sebuah desa, malah lambat, bahkan mundur. Dan dari sesepuh itu, Yanto diiringkan menduduki kursi kepala desa. 

Sebelum Yanto memimpin Tunggak, berbelasbelas bahkan berpuluhpuluh tahun, lamanya, desa Tunggak kurang mengalami kemajuan, bahkan kemunduran. Jalanan aspal berlubang, akibat bekas genangan hujan, dan tekanan truk-truk yang bertonton, tak juga dibenahi. Distribusi macet. Saluran irigasi yang tidak segera dibenahi, dan pengairan ke sawah-sawah akhirnya irit, atau boleh disebut keringkerontang. Tahukah, apa akibatnya? Rantai ekonomi tidak berjalan semestinya, pemasukan menurun, hasil panen langka, tanaman cepat busuk Dan rakyat Tunggak pun: miskin menderita.

(2)
Dan inilah isi dari pada kedalaman ‘masa depan’ di atas:

“Apa perlu diganti nama desanya? Mbah” Tanya seorang cucu pada kakeknya, setelah panjang lebar mendesas-desuskan seputar desa.

Husy! Dulu, Tunggak,desanya maju pesat”. Mbah Sumiyem mengenang, masa silamnya yang megalomaniak.

Lha itu kan dulu tho mbah, sekarang Tunggakmundur pesat!, ”Yanto membalikkan logika Mbah-nya, “Lhaterus bagaimana sekarang? Penduduk berkeluh kesah lho” Yanto minta keterusterangan.

MbahSumiyem masih terdiam, matanya menatap kekosongan. Mungkin ia masih meneropong kegemilangan dan keemasan desa Tunggak. Yang walau sudah menjadi debunya sejarah, setidaknya bisa menenangkan keguncangan jiwa cucunya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline