Oleh: Aries F. As'ad (CAK ASEP) [1]
Memeras otak demi orang lain sama halnya dengan jihad, demi kemaslahatan dan keadilan. Padahal, Islam secara tegas mengutuk orang yang bertindak dhalim antar sesama, baik yang berlatar belakang agama, suku, dan budaya berbeda. Menafsiri sesuatu dengan menoleh satu refrensi berarti telah melanggengkan kebodohan, yakni orang yang berpikir a historis, parsial, reaksioner dan apatis.
Sejarah begitu singkat untuk kita apresiasi, sedikit. Maka jalan satu-satunya kita mencuri sejarah dari kain putih yang dicoret oleh pena keserakahan, kebengisan dan kebiadaban..(Aries F. As’ad)
Bayangan Awal
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia atau biasanya disingkat dengan PMII, lahir ditengah pergolakan politik di Indonesia awal kemerdekaan, hadirnya PMII diawali dari sebuah geliat generasi muda dalam upaya revitalisasi kemerdekaan bangsa dari berbagai model penjajahan. Tampilan situasi yang mewarnai kelahiran PMII salah satunya pertarungan gagasan ideologi Indonesia, mulai dari gagasan negara Islam, Nasionalis, sampai Komunisme.
Ditengan tarik ulur situasi politik di Indonesia, PMII hadir sebagai penengah dan penjembatan alternative pertarungan gagasan diatas. Orientasinya, selain sebagai kantong kaderisasi kekuatan underground NU yang pada saat itu menjadi partai politik, juga merupakan refleksi atas kosongnya konsolidator ditingkat kaum mahasiswa lantaran ketika itu NU hanya memiliki IPNU dan IPPNU itupun dikalangan pelajar bukan mahasiswa. Jelasnya, PMII merupakan kekuatan organisir dan konsolidasi politik ditingkat mahasiswa dibawah garis kordinasi partai NU.
Kemudian selang waktu dalam perjalanannya, halaqoh ulama’ kemudian melahirkan produk ijtihad reorientasi gerakan NU, dengan bahasan NU kembali ke khittah-nya sebagai organisasi social kemasyarakatan, dari partai politik keruang pertarungan kemasyarakatan (civil society)[2]. Keperpindahan dalam orientasi dan paradigma NU praktis mempengaruhi perjalanan PMII selanjutnya, akibatnya PMII mengubah sikap perjuangan politik kebangsaan, dan bukan lagi sebagai kekuatan underground partai politik secara 180 derajat. Yakni menjadi organisasi kemahasiswaan yang concern sebagai tranformator dengan melakukan pembelaan terhadap kaum mustad’afien, hingga saat ini jargon “mustad’afien” kerap kali kita dengar bahkan dielu-elukan sebagai spirit walaupun menyesuikan ruang dan waktu.
Demikianlah historitas singkat perjalanan PMII, mula-mula sebagai kekuatan konsolidasi politik ditingkat mahasiswa kemudian menghadirkan orientasi pembelaan kaum mustad’afien sebagai program strategis sekaligur platform-nya. Patut dipahami, proses perjalanan menuju organisasi pembelaan masyarakat (civil society) tentunya tak semudah membalikkan telapak tangan dan kelak pada gilirannya mendapat hasil. Tidak demikian. Jerih payah serta pengorbanan dalam upaya mengembalikan PMII ke orbitnya memang patut kita bayar mahal, terlihat jelas, mulai dari deklarasi Murnajadi sebagai sikap independensi, kemudian sampai pada proses deklarasi interdependensi yang merupakan langkah strategis kejumudan pada waktu itu.
Membaca Patahan Sejarah PMII
Telaah khazanah historitas perjuangan PMII diatas bukan “awalan” dan “akhiran” dari perjalanan, namun yang perlu diapresiasi ialah “proses”[3] perjalanannya. Karena proses perjalanan tersebutlah yang menjadi pelajaran berharga dalam menentukan karakter dan paradigma gerakan dikemudian hari. Karena dari proses tersebut ada analisa –pembacaan-sejarah dan pergolakan yang amat cermat, bukan asal melangkah. Lantas senantiasa yang terjadi adalah fenomena mengadili kondisi PMII dengan parameter hasil akhir -baik dan jeleknya-, penulis rasa ini salah kaprah dan termasuk golongan orang sesat pikir. Karena gaya berfikir demikian terlalu sektoral, fragmentatif dan parsial, kepala dan ekor yang dinilai sedangkan ke-konfigurasi dan gairah tubuh tidak mendapat porsi dalam penilaian.
Relasi pergulatan kesejarahan PMII tak luput dari pembangunan nilai gerakan, yang mewarnai dinamikan gerakan mahasiswa. Kelak pada gilirannya melahirkan karakter gerakan, maka senantiasa karakter inilah yang membedakan antara PMII dan organ gerakan lainnya. Namun persoalannya adalah, pembangunan karakter dan nilai gerakan PMII ditelaah lebih cermat, panjang dan lebar. Tidak lantas menilai karakter, nilai gerakan dari hasil perjalanan kesejarahan. Namun alangkah lebih bijaknya, sekali lagi, penilaian ada pada proses pembangunan tipikal gerakan PMII yang selama ini terkesan terselubung dalam lipatan sejarah.
Untuk sementara penulis memaknai proses tersebut berselubung dalam dua muara besar dan saling berkaitan erat. Pertama, asumsi paradigmatic, yakni PMII sebagai organisasi gerakan yang tetap mengunggulkan makna “tranformasi, penyadaran dan pendampingan” terhadap kaum mustad’afien.[4] Argumentasi ini muncul tatkala penulis mencermati peralihan orientasi dan tipikal gerakan PMII setelah deklarasi Murnajati, sikap bermi si kerakyatan merupakan wujud nyata cita-cita pengabdian kemasyarakatan dan keterikatan structural menjadi godaan pragmatis dalam perjuangan.
Kedua, civil society buldhing, kehadiran asumsi paradigmatic diatas sekaligus sebagai praksis lapangan dalam membangun masyarakat. Karena peralihan orientasi sebagai konsolidator politik ditingkat mahasiswa, ejahwantah dari transisi paradigma tersebut menjadi organisasi bermisi kerakyatan, merupakan kenyataan atas kebutuhan makna yang dikaburkan dalam proses perjalanan dan pergulatan panggung sandiwara sejarah.