Lihat ke Halaman Asli

Dilema Orang Rimba dan Taman Nasional

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1412148858195935797

Polemik

Dalam tempo sebulan terakhir, sudah dua kali bentrokan serius antara Orang Rimba dengan masyarakat setempat di Jambi. Bentrok pertama, Kelompok Bujang Kabut dengan beberapa masyarakat desa di Kecamatan Tebo Ulu. Bentrok kedua, Kelompok Makekal Hilir dengan masyarakat desa di kecamatan Muara Tabir.

Bila ditarik ke belakang dalam kurun waktu lima tahun terakhir, entah sudah berapa banyak catatan polemik yang terkait dengan Orang Rimba. Seringkali dipicu masalah-masalah sepele misalnya Orang Rimba dituduh mencuri petai atau buah-buahan hingga bentrokan berdarah menyebabkan kematian. Dengan kata lain, terjadi perebutan pemanfaatan lahan dan sumber daya alam.

Tahun ini genap wilayah Bukit 12 memasuki umurnya yang ke-15 tahun menjadi Taman Nasional. Hal ini disesuaikan dengan keluarnya keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 258/Kpts-II/2000, yang merubah fungsi kawasan Hutan Produksi, Suaka Alam, Pelestarian Alam dan Cagar Biosfer menjadi Taman Nasional Bukit Duabelas yang kemudian disingkat TNBD dengan luas 60.500 hektar. Luasan tersebut membentang di wilayah pertemuan tiga kabupaten dalam Provinsi Jambi yaitu Kabupaten Batanghari (65%), Kabupaten Sarolangun (15%), dan Kabupaten Tebo (20%).

Jauh sebelum Bukit 12 menjadi Taman Nasional, persisnya ditahun 1984 kawasan ini sudah ditetapkan sebagai tempat pengembaraan Orang Rimba melalui legitimasi RTRW Provinsi Jambi seluas 28.000 hektar.

Wilayah Bukit 12 memang sejak lama dimanfaatkan Orang Rimba yang secara kultur hidup melalui berladang, berburu dan mencari hasil hutan non kayu. Kultur tersebut masih berlangsung hingga dengan kini walau sebagian besarnya sudah hidup ditengah kebun yang mereka bangun sendiri. Walau sudah punya rumah semi permanen, mengenal handphone, kendaraan, genset, televisi, parabola bahkan komputer. Bagi mereka yang belum beragama (seperti yang diatur pemerintah) rata-rata masih menjalankan tradisi lama khususnya dalam konteks keadatan hingga untuk pengembangan investasi masing-masing keluarga. Singkat kata, berladang, memanfaatkan hasil hutan dan berburu adalah nadi kehidupan mereka.

Sejak perubahan status wilayah Bukit 12 menjadi Taman Nasional seperti tak ada yang mau bicara dampaknya terhadap Orang Rimba. Bicara ini seolah-olah tabu. Dianggap anti lingkungan, anti konservasi, tidak seksi dan tak ada duitnya. Di sisi lain pelaku konservasi hanya memilih romantisme ‘kekunoan Orang Rimba’ dengan propaganda dan kampanye tak kenal henti. Doktrin bahwa ‘hutan adalah segalanya’, ‘Konservasi bersama masyarakat’ memaksa Orang Rimba seolah anti terhadap perubahan.

Padahal, tahun kelima Bukit 12 diperluas jadi Taman Nasional Orang Rimba Bukit 12 sudah melapor ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan DPR-RI tentang kacaunya implementasi dan kebijakan TNBD terhadap kehidupan mereka. Tentang pelarangan berburu dan berladang, tentang polisi hutan yang menebangi pohon-pohon karet mereka dengan dalih reboisasi dan perintah undang-undang.

Orang Rimba juga protes rencana pengelolaan TNBD yang sudah disahkan. Karena proses pembuatannya dinilai tidak transparan dan tidak melibatkan mereka sejak awal. Rencana pengelolaan tersebut juga dinilai akan mengancam masa depan mereka, karena TNBD sebahagian besarnya dipenuhi oleh zona Inti dan zona Rimba yang secara prinsip tidak membenarkan kegiatan ekploitatif, Pun adanya rencana Orang Rimba yang didorong ke zona pemanfaatan yang porsinya sangat kecil di pinggir Taman Nasional. Dan perlu dicatat bahwa hampir di semua sisi Bukit 12, baik sebelum dan sesudah menjadi Taman Nasional, telah dimanfaatkan oleh Orang Rimba, masing-masing kelompok punya wilayah kelolanya sendiri. Kita orang luar mungkin menyebut istilah itu dengan kampung/dusun.

Kampung-kampung Orang Rimba Bukit 12 itu bernama Makekal Hulu dan Hilir, Air Hitam, Kejasung Besar, Kejasung Kecil, Terab, Sungkai, Bernai, dan sebagainya. Dari masing-masing kampung itu terbagi lagi dalam satuan kecil yang mereka sebut dengan ‘Rombong’ atau mirip dengan Rukun Tetangga (RT) atau Rukun Warga (RW) bagi kita Orang Luar.

Selain protes dan mendesak rencana pengelolaan TNBD untuk direvisi. Orang Rimba Bukit 12 berharap rencana pengelolaan tersebut disesuaikan dengan kearifannya dalam memandang dan memaknai hutan, mereka sudah punya sistem dan aturan adat untuk itu. Namun sampai sekarang rencana pengelolaan TNBD sepertinya tak tuntas direvisi, sehingga Orang Rimba masih di bawah bayang-bayang ancaman Taman Nasional.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline