Sebanyak 32 rumah warga yang tersisa sudah diratakan dengan tanah demi pembangunan Bandara New Yogyakarta International Airport atau Bandara Internasional Kulon Progo. Namun, warga tak menyerah untuk melawan dan tetap menilai punya hak atas tanah itu. Yang tersisa hanya masjid. Warga di daerah Temon, Kulon Progo, tetap melakukan perlawanan hingga hari ini. Kali ini, pihak Angkara Pura I dan aparat gabungan kembali datang untuk melakukan pembersihan lahan pasca penggusuran.
Diunggah oleh akun Facebook Jogja Darurat Agararia, pada pukul 10.30 WIB warga melakukan perlawanan terhadap alat berat yang hendak meratakan tanah. Salah satunya bahkan menaiki buldozer yang tengah berjalan pelan. Sebanyak 32 rumah sudah dirobohkan oleh pihak Angkara Pura I dibantu aparat gabungan dari TNI-Polri. Warga saat itu juga melakukan perlawanan. Pak Sumiyo, ketua RT 12/RW 06, Siderejo, Desa Glagah, Kecamatan Temon, bahkan mengaku diinjak punggungnya oleh aparat gabungan saat hendak mempertahankan rumahnya.
Kericuhan saat penggusuran lahan ini berulang kali terjadi. Upaya ini dilakukan sejak 27 November oleh pihak Angkara Pura I dengan dikawal aparat. Sebab, masih ada puluhan aset, baik rumah maupun lahan yang dimiliki warga penolak bandara. Pihak Angkara Pura I menyebut upaya pengosongan rumah itu punya dasar hukum putusan Pengadilan Negeri Wates tentang ganti rugi rumah milik warga melalui proses konsinyasi. Sementara, warga memandang konsinyasi tidak sah karena harus mendapat persetujuan warga.
Menurut para ahli, Bupati Kulon Progo Hasto Wardoyo membenarkan ada pembersihan lahan untuk kepentingan pembangunan Bandara Kulon Progo. Menurutnya, pihak yang bertanggung jawab adalah Angkasa Pura I selaku pelaksana proyek pembangunan bandara. Hasto menuturkan pembersihan dilakukan terhadap 32 rumah yang terdiri dari 37 kepala keluarga. Eksekusi lahan itu, Hasto mengklaim dilakukan sesuai prosedur. Pihak Angkara Pura I disebutnya telah melakukan sosialisasi terlebih dulu. Angkara Pura I juga sudah memberikan uang kepada warga terdampak dengan menitipkan uang itu ke pengadilan atau konsinyasi. Hasto melanjutkan bahwa pihaknya telah menyiapkan sejumlah langkah terhadap warga yang tergusur.
1. Pertama adalah, YLBHI menilai studi Amdal sebagai bekal penerbitan Izin Lingkungan pada 17 Oktober 2017 cacat secara hukum. Ditambahkannya, proses studi Amdal juga sebagai pra syarat penerbitan Surat Keputusan Gubernur DIY Nomor 68/KEP/2015 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan Bandara Untuk Pengembangan Bandara Baru di DIY (IPL).
2. Yang kedua adalah terkait PP 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Perpres 28/2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Jawa-Bali, hingga peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (Perda DIY 2/2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DIY tahun 2009-2029) tidak ada satu klausula yang mewasiatkan pembangunan bandar udara baru di Kulon Progo
Guru besar di Universitas Gajah Mada ini, solusi yang paling tepat untuk mengatasi kejadian tersebut adalah mengkomunikasikan rencana jangka panjang dan strategis pembangunan bandara ini kepada warga. karena rakyat itu rakyat kecil yang barangkali pengetahuan, ilmunya dan pemahamannya kurang jelas.
Jadi kesimpulan dari berita tersebut warga desa glagah kecamatan temon tidak terima dan tidak setuju akan adanya penggusuran rumah warga yang akan dibangun bandara New Yogyakarta Internasional Airport. Karena banyaknya warga yang menolak adanya penggusuran, pihak aparat gabungan melakukan kekerasan seperti menginjak punggung dan juga banyak perlawanan lainnya.
penulis : cahya fadilla fajrianti (220103110075), nabilah maulia syafitri (220103110076), irma wildaniyah (220103110077), haniifah nafi'atuz zahroh (220103110078), nova putri A. (220103110079).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H