Apa itu Hukum Perdata Islam di indonesia ?
Mengenai Pengertian Hukum Perdata Islam di Indonesia saya mengutip pendapat dari para tokoh seperti Muhammad Daud Ali dan Prof Dr. Ahmad Rofiq MA, Menurut Pendapat Muhammad Daud Ali berpendapat "Hukum Perdata Islam" adalah sebagian dari hukum Islam yang telah berlaku secara yuridis formal atau menjadi hukum positif dalam tata hukum Indonesia, yang isinya hanya sebagian dari lingkup mu'amalah, bagian hukum Islam ini menjadi hukum positif berdasarkan atau karena ditunjuk oleh peraturan perundang- undangan.
Sedangkan Menurut Prof Dr. Ahmad Rofiq MA Hukum perdata Islam di Indonesia adalah hukum atau ketentuan di dalam Islam yang mengatur tentang hubungan perorangan dan kekeluargaan diantara warga negara Indonesia yang menganut agama Islam, dengan tujuan agar di dalam hubungan hukum antara seseorang dengan orang lain yang beragama Islam, baik di dalam internal keluarga maupun dalam hubungan perorangan yang lain, yang berada di Indonesia, dapat berjalan dengan baik, dan tercipta tertib hukum, tertib sosial dan tertib masyarakat.
Menurut Pendapat dari kedua tokoh saya berpendapat mengenai pengertian Hukum Perdata Islam di Indonesia itu adalah sistem hukum yang mengatur masalah perdata berdasarkan ajaran Islam. Sistem hukum ini dibangun di atas dasar hukum Islam atau syariah, yang kemudian diaplikasikan ke dalam hukum perdata yang berlaku di Indonesia. Hukum Perdata Islam di Indonesia mencakup berbagai macam bidang hukum seperti waris, nikah, talak, hibah, wasiat, dan lain-lain. Sistem hukum ini mempunyai peraturan yang mengatur hak dan kewajiban antara individu, keluarga, dan masyarakat dalam konteks hukum perdata.
Apa sih prinsip perkawinan dalam UU 1 tahun 1974 dan KHI ?
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur mengenai prinsip-prinsip perkawinan di Indonesia. Berikut adalah penjelasan tentang prinsip perkawinan dalam UU 1 tahun 1974 dan KHI.
Prinsip-Prinsip Perkawinan Menurut UU 1 Tahun 1974 Antara Lain :
- Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri erlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan Kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
- suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami boleh beristri ebih dari seorang.
- Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menganut prinsip bahwa calon suami harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur. Maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan batas umur untuk kawin bagi pria maupun bagi wanita ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.
- Adapun dalam aturan baru tersebut, menyebut bahwa usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun baik untuk perempuan maupun laki-lai. Hal ini sudah sesuai dengan ketentuan Kemen PPPA, dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
- Undang-undang ini menganut prinsip mempersulit perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan pengadilan.
- Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.
Prinsip-Prinsip Perkawinan dalam KHI Antara Lain :
- Ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan
- Tidak semua wanita bisa dikawani pria, sebab ketentuan nasab, dan larangan perkawinan.
- Membentuk keluarga yang kekal
- Hak dan kewajiban suami istri seimbang
- Perkawinan sah apabila memenuhi syarat dan rukun nikah
- Ada kewajiban membayar mahar
- Adanya masa tunggu atau iddah bagi peremuan yang cerai atau ditinggal mati suaminya, bila ingin menikah lagi.
Ternyata Pencatatan Perkawinan itu Penting ! lalu apa yang terjadi bila Perkawinan tidak dicatatkan ?
Pencatatan perkawinan harus dilakukan karena pencatatan perkawinan merupakan suatu proses administratif yang resmi yang diakui oleh negara dan memiliki dampak hukum yang penting. Beberapa alasan mengapa pencatatan perkawinan penting adalah:
- Kepastian hukum: Pencatatan perkawinan memberikan kepastian hukum bagi pasangan yang menikah dan keturunan mereka. Dengan memiliki dokumen resmi tentang perkawinan, pasangan dapat menghindari perselisihan di kemudian hari terkait dengan status perkawinan dan hak-hak yang terkait dengan status tersebut.
- Hak waris: Pencatatan perkawinan memberikan kepastian hak waris bagi pasangan dan keturunan mereka. Dalam hukum waris, anak-anak yang lahir dari perkawinan yang tercatat di PPN memiliki hak waris yang lebih jelas dan pasti dibandingkan dengan anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat.
- Hak asuh anak: Pencatatan perkawinan juga berdampak pada hak asuh anak. Dalam kasus perceraian atau perpisahan, pasangan yang menikah secara sah dan tercatat di PPN memiliki hak yang lebih jelas dan pasti dalam menentukan hak asuh anak.
- Pelayanan publik: Pencatatan perkawinan juga memberikan manfaat dalam memberikan pelayanan publik yang lebih baik, seperti akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan.
- Menjaga keamanan negara: Pencatatan perkawinan juga dapat membantu pemerintah dalam menjaga keamanan negara dengan mengetahui jumlah penduduk yang ada di suatu wilayah, termasuk jumlah pasangan suami istri yang sah.
- Memberikan perlindungan hukum terhadap kekerasan dalam rumah tangga: Dalam beberapa kasus kekerasan dalam rumah tangga, pencatatan perkawinan dapat menjadi bukti untuk menuntut perlindungan hukum dari pihak yang berwenang.
- Kemudahan administrasi: Pencatatan perkawinan juga memudahkan pasangan dalam mengurus dokumen administrasi, seperti KTP, paspor, dan surat-surat penting lainnya, karena status pernikahan mereka telah tercatat secara resmi di negara.
Perkawinan yang tidak dicatatkan secara sosialis, religius, dan yuridis dapat memiliki dampak yang signifikan pada pasangan yang menikah dan juga pada masyarakat di sekitarnya. Beberapa dampak yang mungkin terjadi antara lain:
Tidak diakui secara hukum: Jika perkawinan tidak dicatatkan secara yuridis, pasangan tersebut tidak diakui secara hukum sebagai suami istri. Ini berarti bahwa mereka tidak memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti pasangan yang sah secara hukum. Misalnya, mereka tidak dapat memperoleh hak warisan, tidak memiliki hak asuransi, dan tidak memiliki hak-hak lain yang terkait dengan status pernikahan.
Tidak diakui secara sosial: Jika perkawinan tidak dicatatkan secara sosialis, pasangan tersebut mungkin tidak diakui sebagai suami istri oleh masyarakat di sekitarnya. Ini dapat menyebabkan stigma dan diskriminasi terhadap pasangan yang tidak sah secara hukum.