Lihat ke Halaman Asli

Dwi Wahyu Saputra

UIN Raden Mas Said Surakarta

Analisis Dampak Perceraian dan Pemberdayaan Keluarga Studi Kasus di Kabupaten Wonogiri

Diperbarui: 29 Maret 2023   15:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: http://Shutterstock.com/g/GITCASRON

Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama bagi anak yang memberi dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah satunya adalah belajar menghormati orang yang lebih tua serta membantu menyelesaikan berbagai masalah yang timbul. Orangtua diharapkan dapat membantu anak dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan untuk mengatasimasalah secara realistik dan simpati. Oleh karena itu, keluarga sebagai tempat untuk mengkondisikan pemberian nilai positif pada anak. 

Namun disisi lain, keluarga sering kali menjadi sumber konflik bagi sejumlah orang. Suasana keluarga yang tidak harmonis sering mendorong terjadinya konflik antara kedua orang tua. Salah satu hal yang menjadi ketakutan besar bagi seorang anak adalah perceraian orangtua. Ketika perceraian terjadi, anak akan menjadi korban utama. Orangtua yang bercerai harus tetap memikirkan bagaimana membantu anak untuk mengatasi penderitaan akibat perpisahan orangtuanya.

Sepertihalnya dalam artikel jurnal Buana Gender PSGA LPPM IAIN Surakarta, Volume 1, Nomor 1, Januari-Juni 2016 yang berjudul "Dampak Perceraiaan dan Pemberdayaan Keluarga Studi Kasus di Kabupaten Wonogiri", di dalam artikel ini kami menganalisis bahwa Kasus perceraian secara nasional dalam beberapa tahun terakhir ini mengalami peningkatan, namun fenomena ini tidak bisa digeneralisir karena setiap daerah mempunyai latar belakang dan budaya yang berbeda. 

Berdasarkan catatan Kantor Kemeterian Agama (Kemenag) di Wonogiri dalam setahun rata-rata ada 10.000-11.000 pernikahan. Dari jumlah tersebut angka perceraiannya berkisar 8-9 persen. 

Upaya mengatasi tingkat perceraian, pemberdayaan keluarga pasca perceraian, sementara masih menjadi tanggung jawab sendiri-sendiri, namun melalui Badan Amil Zakat Daerah (Bazda) keluarga yang fakir miskin diberikan santunan-jaminan sosial untuk usaha, bahkan diberikan modal ekonomi untuk membantu keluarga miskin, apakah itu untuk program keluarga pasca perceraian atau hanya keluarga miskin secara umum. 

Program pemerintah tidak sampai menyentuh bagaimana pembinaan keluarga sakinah, semuanya diupayakan sendiri, sementara program pemerintah tidak didukung oleh anggaran yang cukup untuk mendukung program keluarga sakinah. Di dalam artikel Dampak Perceraian dan Pemberdayaan Keluarga Studi Kasus di Kabupaten Wonogiri  tradisi boro di Wonogiri mempengaruhi angka perceraian yang cukup tinggi, tingginya angka perceraian dari pihak perempuan memiliki korelasi geografis dan sifat masyarakat Wonogiri yang boro.Boro adalah pergi merantau ke daerah lain, seperti

ke Jakarta atau kota-kota besar selama berbulan-bulan dan jarang pulang ke kampung halaman, atau merantau ke Luar negeri menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) atau bagi perempuan menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW). Berdasarkan data kaum boro di Wonogiri cukup besar, sehingga banyak rumah-rumah besar dan mewah yang hanya dihuni satu dua orang, dan yang ada hanya tinggal anak-anak dan perempuan, sementara suami merantau atau sebaliknya anak-anak dan bapaknya karena yang merantau adalah istrinya sebagai TKW ke luar negeri. Faktor yang mendorong tingginya angka perceraian di Wonogiri terus meningkat. 

Disebabkan tingkat keberagamaan yang sangat rendah khususnya dalam bidang keagamaan, sebab dengan menjalankan ajaran agama orang akan berusaha mempertahankan keutuhan rumah tangganya masing-masing, masalah dalam keluarga menjadi bagian dari ujian hidup. selain itu pernikahan dibawah umur, pengantin yang menikah pada usia kurang dari 16 tahun, pasangan pernikahan ini labil dalam menjalani kehidupan ekonomi, menjalar kepada masalah ekonomi keluarga, orang cenderung ke arah konsumtif, produktifitas untuk konsumtif bertambah, pola berpikirnya labil, apalagi masalah pemahaman dan pengamalan agama cenderung sangat rendah sekali. sehingga dapat disimpulkan Faktor-faktor penyebab perceraian antara lain: tidak tanggung jawab, tidak memberi nafkah, perselingkuhan, perselisihan dan pertengkaran, tinggal wajib, belum dikarunia anak, meninggalkan kewajiban, penikahan pada usia muda. selain itu perlu digaris bawahi dari artikel ini terdapat pendapat untuk menjaga keutuhan dalam berumah tangga, Menurut Didik Purwodarsono ada tujuh pilar yang bisa menjaga keharmonisan dalam berumah tangga (Didik Purwaodarsono, 2012: 8).

Yakni, pertama, mengawal visimisi atau orientasi dalam berumah tangga, sehingga arah perjalan rumah tangga tetap berjalan sesuai dengan visi-misi yang dibangun bersama di awal. Kedua, senantiasa memperkuat referensi diri dengan keilmuan yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga. Ketiga, rumah tangga yang berdaulat yang bebas intervensi orang tua/mertua atau pihak lain. Keempat, memiliki kemampuan komunikasi yang efektif, sehingga kebekuan hubungan dengan pasangan bisa terurai. Kelima, selalu belajar beradaptasi dengan pasangan hidup. Sebab, bukan sebuah jaminan jika telah berumah tangga sekian tahun menjadikan kemampuan beradaptasi lebih mudah dan ulung. Keenam, memberi ruang toleransi yang bisa melegakan psangan hidup. Dua hati yang berbeda tentu membawa perbedaan pula untuk hal-hal yang lain, maka membutuhkan pemahaman bersama. Tak ada yang boleh mengekang atau terkekang, selami itu untuk kemaslahatan bersama. Ketujuh, selalu memperbaiki diri, mawas ke dalam, atau introspeksi diri.

setelah menganalisis artikel jurnal tersebut maka tidak bisa dihindari suatu perceraiaan pasti ada faktor yang menyebabkan perceraian itu terjadi, diantaranya:  Faktor - Faktor Penyebab Perceraian : (Ketidakharmonisan dalam berumah tangga, Krisis moral dan akhlak, Perzinahan, Pernikahan tanpa cinta). Secara umum faktor yang sangat mempengaruhi perceraian menurut kami 4 faktor tersebut, sedangkan alasan-alasan perceraian kami menyebutkan diantaranya: (Salah satu pihak berzina, pemabuk, penjudi. Salah satu pihak meninggalkan selama 2 tahun beruturut-turut tanpa alasan yang sah. Salah satu pihak mendapat hukuman 5 tahun penjara atau lebih selama perkawinan berlangsung. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau lainnya yang mengakibatkan tidak bisa menjalankan hak dan kewajiban sebagai suami istri. Salah satu pihak melakukan KDRT. Terjadi perselisihan secara terus menerus dan tidak terwujudnya hubungan yang rukun).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline