Ilustrasi/Admin (Shutterstock)
KEPADA para pelajar dan mahasiswa yang (masih) berminat menjadi jurnalis, saya selalu menyemangatinya, dengan kalimat, ''Profesi jurnalis itu profesi yang mulia, karena menjalankan tugas kenabian, sebagai pembawa dan penyampai kabar.''
Tetapi di sisi lain, saya juga ingatkan, ''Profesi jurnalis tak lagi 'seindah' di era saya menjadi jurnalis.'' Berkat profesi jurnalis, hampir seluruh propinsi pernah saya jelajahi. Dikirim meliput ke berbagai daerah, menginap di rumah penduduk hingga di hotel termahal di daerah tersebut, dan mengantongi uang DLK (Dinas Luar Kota) yang telah ditetapkan.
Paspor saya sudah berganti entah berapa kali,karena perpanjangan dan karena halaman demi halamannya sudah penuh oleh 'cap' dan 'tempelan' penanda (izin) masuk ke sebuah negara. Berulangkali saya menjalankan ibadah haji dengan status ''Haji Abidin'' (Atas Biaya Dinas) dan ''Haji Abubakar'' (Atas Budi Baik Kantor), plus mendapatkan uang saku DLN (Dinas Luar Negeri) yang tidak kecil jumlahnya, dan mengikuti nilai mata uang di negara tujuan. Hobi melanglangbuana dan menulis, dibiayai oleh perusahaan, apa tidak enak?
Nikmat mana lagi yang tidak pernah saya rasakan?
SEKARANG? Murid/mahasiswa yang pernah saya didik, kerap berkeluh kesah, ''Sekarang susah,Pak. Media tempat kerja saya berjaringan. Hampir di seluruh Indonesia ada wartawan atau korespondennya. Atas nama efisiensi 'biaya', kami nggak dikirim lagi ke daerah, cukup menugaskan koresponden yang ada di sana.'' Tak cuma ke luar kota, demikian pula halnya, untuk peliputandi luar negeri.
Sebaliknya, berita yang ditulis oleh jurnalis saat ini, tak lagi cuma dimuat di satu media. Tetapi bisa di belasan, bahkan mungkin puluhan media lokal, yang ''berjaringan'' dengan media di ibuk0ta, tempat di mana mahasiswa saya yang telahmenjadi jurnalis itu bekerja. Dulu, ketika bertugas ke satu tempat, saya kerap bertemu dengan belasan jurnalis yang bekerja di kelompok media, tempat saya bekerja.
Media kami berbeda satu sama lain, tetapi masih dalam satu payung perusahaan yang sama. Sekarang, fenomena ini makin berkurang. Atas nama ''era konvergensi'' yang ''membawa sejumlah produk media menjadi satu kesatuan dengan membawa semua keunggulan masing-masing'', jumlah wartawan di lapangan menjadi ''makin berkurang''.
Satu jurnalis turun lapangan,lalu mengirimkan beritanya ke newsroom (redaksi) yang menghimpun (pool) berita dari jurnalis di lapangan, yang kemudian ''memilah'' dan ''menentukan'' berita itu cocok dimasukkan ke media mana, yang tergabung di dalam grup media tersebut.
Jadilah satu jurnalis bekerja untuk lebih satu media. Satu jurnalis mengirim berita yang kemudian diolah di newsroom dan muncul di media online, cetak, juga (dibacakan) di media audio dan visual. Bisa jadi, termuat di tidak cuma satu media cetak tetapi berbagai media cetak, termasuk jaringannya di daerah-daerah, di lebih dari satu radio dan satu televisi yang juga sudah memiliki ''jaringan'' di daerah-daerah.