[caption id="attachment_310897" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] SAYA tak akan pernah bosan untuk meneriakkan: ''jurnalisme adalah perkara kebenaran verifikasi''. Dan, jika kita mengutip pemberitaan media lain, maka kita tidak pernah bisa lepas dari tanggungjawab terhadap pengutipan itu,dengan pembelaan, ''Saya cuma mengutip''. Verifikasi, verifikasi, verifikasi! (baca juga) Selain itu, tidak jarang kita juga menulis -- entah berdasarkan wawancara langsung atau lagi-lagi mengutip media lain-- dengan cara yang menurut saya terbilang sembrono. Khususnya dalam menulis kutipan, kalimat langsung atau kalimat tidak langsung. Ingat, ketika Anda menulis di antara (dua) tanda kutip, itu artinya Anda menulis pernyataan langsung dari narasumber, tanpa boleh ada perubahan sama sekali. Kutipan dialog dalam sebuah wawancara harus ditulis apa adanya. Itu dimaksudkan sebagai penyegar dalam sebuah tulisan, berguna memberikan sentuhan khas atau khusus, karena misalnya, dialek atau sifat pernyataan si terkutip yang spesifik. Juga, merupakan salah satu unsur penulisanfeature atau lead yang baik. Tapi ingat, tulis apa adanya karena itu kutipan atau kalimat langsung, jangan diberi persepsi sendiri oleh penulisnya. Kalau kalimatnya dianggap ''berantakan'' atau penuh unsur ''dialek'' yang tak enak dibaca, ubahlah kalimat itu menjadi kalimat tidak langsung. Tidak berada di antara tanda kutip. Tetapi, tetap harus hati-hati dalam menuangkannya,jangan sampai jadi berubah makna. INI saya ingatkan, karena -- salah satunya-- saya mengamati kabar beberapa hari belakangan ini berkaitan dengan pembentukan tim pengacara Presiden SBY untuk pribadi dan keluarganya. Fenomena ini, sebagaimana dikatakan sendiri oleh Palmer Situmorang, sang pengacara, pagi tadi di MetroTV, bukan untuk melarang orang mengkritik kebijakan SBY, tapi untuk tidak sembarang memfitnah diri dan keluarganya. (baca juga ). Jangan hanya karena SBY seorang presiden misalnya, lalu kalimat langsung SBY, ''Saya memohon...'' ditulis dalam bentuk kalimat langsung, alias di dalam tanda kutip menjadi ''Saya memerintahkan....'' Karena, secara faktual, langsung dari bibir SBY keluar kata ''memohon'', bukan ''memerintahkan''. Tapi,kenapa misalnya, ada yang berani mengubah kutipan ini? Kalau alasannya, karena menurut persepsi penulis, kata ''memohon'' dari seorang presiden itu bisa bermakna ''memerintahkan'',maka secara jurnalistik, itu tetap sebuah kesalahan fatal. Kalimat langsung tidak bisa diperpsepsikan sesuai keinginan penulisnya.Lain halnya jika ditulis dalam kalimat tidak langsung, lalu diberi semacam catatan penjelas --berdasarkan persepsi -- kalau presiden mengatakan ''memohon'' bisa jadi dimaknai sebagai ''perintah'' oleh orang sekelilingnya. Maklum, dia orang nomor satu di negeri ini, yang batuknya saja bisa ''menggegerkan''jantung orang di sekelilingnya. Sekali lagi, ingat dengan hal ini -- dalam dunia jurnalistik-- ''Fakta itu sakral, tetapi opini itu bebas''. Kutipan kalimat langsung yang ditempatkan di antara tanda kutip itu fakta dan karenanya sakral, tak boleh diubah, hanya karena persepsi dan pemaknaan penulis. Kejadian pelanggaran menulis kutipan atau kalimat langsung ini kerap saya baca di pemberitaan media siber yang mengutamakan kecepatan, di mana narasumber belum selesai bicara, langsung diketik, dan muncul dalam pemberitaan. Tidak dibaca ulang lagi, atau disesuaikan dengan hasil rekaman, sebelum disebarkan. Kecepatan menjadi panglima,akurasi menjadi nomor sekian. Juga di dalam tulisan para jurnalis warga yang tidak bertemu langsung dengan narasumber, dan hanya mengutip dari pemberitaan media mainstream. Sekali lagi, sekedar mengingatkan, perkembangan teknologi hanya mengubah cara media mengejar informasi dan mengembangkannya. Tetapi tidak mengubah hukum universal: jurnalisme adalah persoalan kebenaran verifikasi! @maman1965
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H