Konsumsi rokok yang kian hari makin menjadi kebutuhan pokok bagi semua kalangan masyarakat. Disamping itu, melonjaknya harga rokok dari tahun ke tahun pun dirasa cukup mencekik bagi penikmat rokok. Menghisap rokok ditengah biaya kehidupan yang meninggi, membuat perokok mulai mencari alternatif untuk tetap menikmati tembakau. Membeli sebungkus rokok merk terbaru dengan harga miring atau beralih ke tembakau menjadi sebuah solusi. Peralihan dari rokok bungkusan ke pelintingan jadi sebuah solusi yang dirasa efisien untuk mensiasati kenaikan harga rokok di super market atau warung kelontong.
Sebut saja tingwe (nglinting dewe) salah satu solusi bagi kaum perokok yang mempunyai daya tarik bagi mahasiswa, abang-abang ojol hingga para karyawan. Saat di warkop atau tempat nongkrong, sempat sesekali terlihat orang membawa bungkusan yang berisi tembakau dengan berbagai merk dan jenis. Popularitas tingwe diharap makin menjamur sebagai siasat alternatif murah-meriah untuk para perokok.
Beragam jenis tembakau dan rasa bisa didapatkan di toko tembakau, dari jenis tembakau Temanggung, tembakau Mole dan tembakau Gayo bisa dibeli kisaran harga 10.000-15.000 sesuai dengan abang-abang warung yang menjualnya. Cengkeh yang ditambah di racikan tembakau membuat cita rasa serta aroma yang khas. Peracikan tingwe juga nyeni dalam pembuatannya, dengan melipat kedua sisi papir lalu memadatkan tembakau kemudian menggulungnya dan merekatkan dengan nasi atau air liur, kegiatan tingwe menjadi ajang melatih kreatifitas yang sudah lama tidak diasah oleh para perokok atau sebagai pengalaman baru bagi para pemula seperti kita ini.
Awal Mula Kebiasaan Merokok
Tau kah kamu, ternyata kebiasaan ngisap tembakau di mulai dari jaman kerajaan loh! Mulanya pulau Jawa mengenal rokok dari gaya hidup yang diperlihatkan oleh bangsa Eropa yang masuk ke Indonesia. Sejak masa pemerintahan kerajaan Mataram, kebiasaan menghisap rokok sudah dilakukan para petinggi keraton. Merokok akhirnya ditiru warga dari kalangan bangsawan keraton. Sultan Agung yang menjadi penguasa tertinggi kerajaan Mataram (1613-1645) menjadi salah satu penghisap berat tembakau. Dr. H.De Haen sebagai duta VOC pada paruh pertama abad ke-17 (1622-1623) melihat Sultan Agung lebih suka menghisap rokok dari pada menguyah sirih. Saat Sultan Agung melatih perang, terlihat ia sedang menghisap rokok. Hingga saat rokok yang dihisap mati, segera seorang abdi khusus membawakan tali api (upet) untuk menyalakannya kembali. Kebiasaan yang diadopsi Sultan Agung ini didapat dari orang Belanda yang merokok dengan pipa Cangklong, sambil minum-minum dan makan-makan kecil di sore atau malam hari di depan rumah, kegiatan ini biasa disebut dengan teludak.
Jadi sebenarnya bapak-bapak yang sering bilang "enaknya ngerokok itu sambil ditemenin teh atau kopi" ternyata itu berasal dari kebiasaan para penjajah yang "katanya" tidak boleh kita tiru. Buktinya menghisap tembakau masih menjadi kegiatan yang digemari sampai saat ini.
Kreatifitas Melinting Rara Mendut Sebagai Alternatif Bisnis
Tingwe juga memiliki kisah masa lalu yang diceritakan dalam kisah rakyat Rara Mendut. Umumnya penggambaran Rara Mendut merujuk ke arah sejarah Sales Promotion Girl (SPG), tapi sebenarnya seorang Rara Mendut adalah wanita yang ingin melepaskan diri dari paksaan menjadi selir dengan kreatifitas dan kemandirian. Upaya menjual racikan tembakau dan puntung bekas hisapannya, mejadi bukti cara mensiasati kondisi yang menimpanya.
Pati yang ditaklukan oleh Mataram membuat para tentara mendapatkan imbalan berupa harta dan penghargaan sesuai dengan pencapaiannya di medan perang. Banyak tawanan serta para putri yang ditahan dari penaklukan itu. Tumenggung Wiraguna menjadi salah satu yang mendapatkan imbalan berupa harta dan putri tawanan. Dengan paras ayu, Rara Mendut membuat Wiraguna tertarik untuk menjadikannya selir. Permintaan itu ditolak oleh Rara Mendut yang membuat Wiraguna marah, ketidak cocokan disebabkan Wiraguna adalah pria paruh baya dengan gigi ompong.
Penolakan Rara Mendut menjadi selir membuat dirinya dijatuhi hukuman membayar pajak, jika tidak dapat membayar pajak maka Tumenggung Wiraguna akan tetap memaksanya menjadi selir. Rara Mendut menerima hukuman tersebut, dia meminta izin membuka warung di daerah Prawiramantren serta bekal: uang tiga real, tembakau Sompok dari Imogiri, daun klobot, bumbu dan Wur (Cengkeh) yang diberikan oleh Nyai Tumenggung Istri dari Wiraguna. Selain menjual racikan tembakaunya, ia yang gemar menghisap rokok menjual lintingan bekas hisapannya. Kecantikan Rara Mendut menarik lelaki sekitar untuk meramaikan warung rokoknya dan membeli lintingan yang telah dihisapnya.
Perdagangan linting Rara Mendut adalah sebuah alternatif bertahan hidup. Desakan yang diberikan Wiraguna berhasil memunculkan kreatifitas dan keterampilan melinting, ia berhasil memanfaatkan penampilan untuk menarik pembeli serta membuat celah untuk mendapatkan dukungan modal agar tidak merugikan sepihak. Situasi Rara Mendut dan perokok zaman sekarang terdapat kesamaan tekanan yang berasal dari kenaikan pajak oleh pengatur wewenang. Perbedaan juga bisa dirasakan dengan latar cerita Rara Mendut yang diberikan pajak karena penolakan, sedangkan perokok sekarang diberi alasan untuk pengendalian konsusmsi rokok dan peningkatan pendapatan negara.