Lihat ke Halaman Asli

Harta-hartaku

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namaku Kei.

Aku lupa saat itu hari apa. Aku selalu asing dengan kedatangan lelaki itu. Beberapa bulan sekali ia tiba-tiba datang membawa satu kilogram kadang lebih buah apel merah dan roti tawar dua bungkus. Dia lebih suka diam daripada membiarkan waktunya untuk mengajakku jalan-jalan ke kebun binatang atau ke pasar untuk membelikan ikan hias yang berwarna-warni. Ibuku tak pernah memberi tahuku alasan mengapa ia pergi dan datang tanpa menyapaku selayaknya anak-anak. Aku benci jika ia masuk rumahku dan tinggal untuk beberapa hari. Aku selalu pergi jika ia berada di rumah. Mencari suasana yang bisa membuat aku tertawa dan senang.

Pagi dan siang lebih banyak dihabiskan untuk menanam dan memangkas pohon jati, pohon mahoni, pohon karet, tanaman nanas di belakang rumah. Akupun tak pernah peduli apa yang dilakukannya. Aku hanya tahu dia akrab dengan ibuku. Sangat akrab. Jika di belakang rumah ada burung-burung prenjak bersuara nyaring berkali-kali, ibuku bilang. Ayahmu akan segera pulang.

Hingga suatu hari ibu memutuskan dan mengajakku ke sebuah gedung di tengah kota.

“Kalau nanti kamu ditanya bapak hakim yang memegang palu kayu, bolehkah jika suatu hari ayahmu pergi meninggalkanmu, jawab iya boleh” ibu memintaku aku berkata seperti itu.

Aku menuruti perkataan ibuku. Aku menjawab dengan suara keras biar bapak hakim pemegang palu kayu itu mendengar suaraku dan masih ingat ketika aku menjawab pertanyaan bapak hakim, lelaki yang katanya ayahku menatapku. Aku tak tahu apa yang ia rasakan dan ia pikirkan. Waktu itu berjalan sangat cepat. Ia masih saja memandangiku dari kejauhan, dan tiba-tiba ia datang memberikan selembar uang senilai lima ribu rupiah. Saat itu aku ingin sekali mempunyai kotak pensil yang ada airnya. Sebelum aku membelinya di toko, ia mencium keningku lalu ia pergi berjalan menjauh hilang di antara kendaraan yang lalu lalang di jalan raya. Sejak itu aku tak lagi berjumpa dengannya.

Suatu hari ibuku mendapat kabar dari saudaraku, lelaki itu kecelakaan saat bekerja. Salah satu tulang rusuknya patah.

Keadaan itu membawa kami bertemu kembali dengannya. Untuk waktu yang singkat.

Bulan desember tiba. Aku dan ibuku sibuk membuat kue untuk merayakan kedatangan Juru selamat kami ke dunia. Siang itu aku masih di sekolah, saat aku pulang ke rumah, ibu memberiku sebuah bingkisan. Ini dari ommu katanya hadiah Natal, dia buru-buru pulang karena masih ada kerjaan di kantornya. Baju berwarna merah, aku suka sekali baju itu. Aku tak bersedih tiap tahun tanpa kehadiran dan ucapan selamat Natal dari lelaki itu. Hingga sekarangpun aku enggan bertanya pada ibuku, mengapa lelaki itu tidak pernah mengucapakan selamat Natal padaku.

Ibuku hanya selalu berpesan padaku, “kita tidak boleh membenci dia, Tuhan tidak pernah mengajarkan itu kepada kita, kita harus tetap mengasihi dia sampai kapanpun meskipun dia sudah membuat kita sedih, oke”. Kata itu selalu kuingat ketika Natal segera menghampiriku. Ibuku pertama kali mengatakan kalimat itu saat hari perpisahan itu memisahkan kami dan lelaki itu.

Natalpun tiba. Aku berlari menuju ibuku yang sedang menyambutku di depan pintu rumah. Senyumnya mendorongku untuk segera mencium tangannya dan berkata “ Selamat Natal ibu”. Aku selalu memandang matanya, ada kebahagian yang berkilauan. Sebuah semangat hidup baru untuk tahun yang baru. Dia selalu tersenyum dan akan menjawab “ Selamat Natal juga anakku”. Tak pernah setetes pun air mata yang ia perlihatkan padaku saat Natal atau perpisahan kami. Aku bangga memilikinya.

Besok adalah hari ibu.

Selamat hari Ibu untukmu ibuku, ketika senja akan datang dan malam akan menutup hari ibu, aku datang dan kita akan kembali bercerita dan merencanakan mimpi-mimpi yang baru.

Selamat hari Ibu untuk para Ibu di dunia. Cepat atau lambat, kami anak perempuanmu akan merasakan dan menjadi sepertimu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline