Lihat ke Halaman Asli

Karena Terbiasa

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

hujan, adalah rutinitas untuk mataku yang entah sedih atau senang saat menatapnya. hujan kini menjadi kompas kemana aku hendak pergi atau tetap memilih bercengkrama dengan Rama, bocah kecil yang ku akrabi sekitar tujuh bulan yang lalu. pagi menjadi siang berotasi menjadi sore dan malam. matahari yang memalingkan wajah menjadikan pagi dingin menggelitik bulu romaku.

penghuni rumah bercat hijau segar itu masih tersimpan dalam mimpi-mimpi dingin yang bisa terwujud ataupun sebagai bunga tidur saja. perlahan berjalan menapaki anak tangga yang menjadi singasana sepatu kets abu-abu dan kaos kaki putih lebih dari sepuluh  hari belum berendam di larutan deterjen.tapi, baunya masih sedap.

satu-persatu menenggelamkan mata kaki yang sedikit pucat pasi.

tanpa meninggalkan suara bergerak maju berusaha dengan embun-embun yang masih enggan meleleh dipuncak tanaman padi. mencari sesuatu yang tak biasa dilakukan. "selamat pagi" tegur lirih penuh senyum seorang pelancong dari pulau Indonesia bagian timur. RAGU-RAGU membalas kata-katanya, "Iya" sambil menambah kesan senyum manis yang baru pertama kali bangun dari tidurnya.

Kuntul hitam datang berlawanan arah dengan majunya kaki. satu dan akhirnya dua tiga ekor melintas santai, pasti mereka lebih pagi membuka mata mereka.

berani dan lakukan. menjamah perumahan elit yang berada diatas timbunan tanah yang dulunya sawah. kanan kiri tamparan lanskap padi ijo royo-royo, gemercik air tegal terlihat segar. sepasang pasutri melakukan hal yang sama denganku.

puas menjamah desa Juwangen yang memang benar-benar NYESS di mata hati. pulang.

"lo, ndak ketemu Rama to ? tadi dia sama bundanya mencari kamu" tanya mas Yoga ayah Rama.

sambil pringas-pringis pamer gigi yang masih berbau asam apel. "enggak mas, kemana arahnya?" tanyaku.

"kearah sawah sebelah sana, tempat biasa kalian lakukan " jawab mas Yoga sambil sibuk menarik maju mundurkan gagang sapu lidi yang siap menyeret paksa dedaunan coklat yang basah tersiram air hujan semalam.

jarum menit belum menempati posisi semula ke angka 12. suara motor datang meminggir di depan hadapan sepatu abu-abuku. dari luar terdengar panggilan darurat dari bunda Rama, tante...tante...tante ika" suara Mbak Nana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline