Lihat ke Halaman Asli

Malam, Pelangi dan Rum

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1292214375995633053

[caption id="attachment_79694" align="aligncenter" width="448" caption="aku, Rum (dok.p)"][/caption]

Purnama akan segera datang ketika malam melewati pukul Sembilan malam. Ah, berawan putih pasti purnama akan melenyap dan samar-samar mata menikmati cahayanya. Kicauan tawa perawan ataupun janda mungkin bisa saja. Saya tidak tahu satu perdua status yang lekat memekat di dada mereka. Saya hanya tahu mereka tertawa dalam skala puas.

“halo, Rum. Malam ini kita berduaan yuk. Mumpung terang bulan, alun-alun Kidul mendukung suasana itu” sapa ceria Ampu.

“halo juga, aku sangat tidak menolak berduaan denganmu malam ini, ayo cari tempat yang nyaman untuk saling memandang” ajak Rum.

Hahaha……hahahaha asyik, gelak tawa para pengunjung Alkid yang telah terasuki hawa senang sepeda tandem berhias lampu warna-warni. Sudah usia hampir kepala tiga masih suka yang bersifat kanak-kanak.

“ah, neng kene wae (disini saja), kamu belum pernah berkunjung di habitatku to, di bawah sebatang pohon yang cukup lebat daunnya dan ada kursinya lo” ajak Rum.

“ok, aku terima. Eh kamu kok betah hidup disini, kenapa tidak mencari tempat yang banyak humus dan airnya, kau pasti tampak gemuk dan mungkin sehat” tanya Ampu sambil duduk di kursi yang terbuat dari semen yang berduet dengan pasir dan dipekatkan oleh air.

“aku senang hidup disini, lihat saja setiap malam aku bisa mendengar gelagat pemuda-pemudi yang sedang berdua seperti kita ini, mendengarkan mimpi-mimpi mereka dan kehidupan mereka. Mereka selalu duduk di kursi ini, walaupun aku dinjak-injak oleh kaki mereka. Aku tidak berteriak, aku hanya ingin menjadi pendengar setia dan menjadi penghuni alkid” jawab panjang Rum sambil menerima sekuntum bunga putih yang jatuh tepat di wajahnya.

“Rum, kau tipe yang setia ya “ rayu Ampu sambil menggelitik ketiak Rum dengan cahaya redupnya.

“ya, inilah hidupku. Setiap hari aku senang bisa melihat orang-orang yang sliwar-sliwer di alkid ini penuh tawa, semangat. Itulah makanan rohani alias jiwaku. Makanya tubuhku tetap segar dan sintal walau tumbuh di tempat gersang ini. Setidaknya, pohon disampingku ini selalu melindungi aku dari siang dan malam “ ujar Rum.

“aku punya kejutan untukmu, tutup matamu dulu” pinta Ampu.

Tanpa sepatah kalimat, mata Rum tertutupi oleh satu kuntum bunga lagi yang jatuh tepat di matanya.

“sudah?” Tanya Rum.

[caption id="attachment_79695" align="aligncenter" width="448" caption="pelangi, malam (dok.p)"]

1292214184426970789

[/caption]

“sudah, bukalah matamu, aku ingin cahaya pelangi ini masuk ke tubuhmu dan kau bisa berfotosintesis malam ini dengan energi pelangi ini” jawab Ampu sambil menunjukkan butiran pelangi di terang bulan malam, Alkid.

“ah, kau menyajikannya dengan manis sekali. I’m loved” ucap Rum sambil menerima satu lagi bunga putih yang jatuh tepat di permukaan luar tulang rusuknya.

“blue. Tidak hadir dia tergantikan gelap, namun aku sajikan warna merah jambu untukmu sebagai pengganti blue” ujar lirih Ampu.

“this’s so nice” jawab Rum.

“mari berpelukan, aku akan menghangatkanmu dalam dinginnya malam dengan segenap energy cahayaku” ucap Ampu sambil merengkuh tubuh mungil Rum yang tidur beralaskan humus, coklat pekat.

Seorang gadis telah mendengar perbincangan antara Rum dan Ampu sambil menatap keatas penuh harapan, kapan purnama seindah malam itu.

---

Rum:: sosok rumput yang ada pada gambar 1, berada di alkid sebelah barat sasono hinggil.

Ampu::: lampu-lampu alkid yang hangat, tidak redup juga tidak terang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline