Lihat ke Halaman Asli

Alam Berunjuk Rasa

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tidak menyalahkan siapa-siapa. Aku atau kamu dan bukan mereka. Di kehidupan fana ini kita berdampingan dengan alam semesta. Dia sama seperti kita, manusia, alam punya ‘sense’. Dari perut alam kita bisa kenyang dan tidak haus tiap hari. Keindahan alam mampu menyegarkan otak kita yang setiap detik bekerja tanpa henti. Ketika pagi hari datang, alam selalu setia menyuguhkan keajaiban yang selalu indah dan menakjubkan. Siang hari, sinar matahari dengan mudah mengeringkan pakaian-pakain yang basah. Sore hari senja selalu menampar bumi dengan sejuta kecantikan. Malam hari meskipun tanpa bintang dan bulan ada gelap dan dingin yang menghantarkan para pekerja pagi dan siang terlelap.

Wasior diterjang banjir bandang (timur), kepulauan Mentawai diguncang gempa dan gelombang tsunami (barat) dan gunung Merapi sudah meletus (barat).

[caption id="attachment_308674" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (shutterstock)"][/caption]

Bukankah insan di negeri ini sering kali menunjukkan bakat dan keahlian pada negeri ini. Terkadang sampai melupakan alam. Bungkus makanan dan minuman yang lezat dan menggiurkan lidah terlentang di selokan, habis menikmati bungkus terlupakan. Alam juga punya sistem seperti tubuh kita. Punya kaki, tangan, mulut, hati, perasaan. Seandainya wajah kita dilempar kotoran burung oleh orang lain, apakah kita diam saja? Jika mulut kita diberi plastik sebagai ganti makanan sehari-hari, tidakkah kita berkomentar dan marah. Apabila kita pergi ke salon meminta dicukur dengan style cepak tapi saat usai pencukuran hasilnya kepala kita jadi gundul. Mungkinkah kita menerima? Pasti protes.

Begitu juga dengan alam. Hutan bakau ditanam di bibirpantai, karena ingin hidup mewah musnah lah hutan bakau. Jika banjir datang, saling tuding menuding. Daratan alias tanah di negeri ini juga butuh minum seperti kita. Melalui hutandan akar-akar tanaman/tumbuhan tanah punya cadangan minuman. Pori-pori tanah sebagai mulut untuk menerima udara serta air dan mineral agar tanah tetap subur. Namun pori-pori tanah disumbat dengan semen dan tumbuh menjadi bangunan-bangunan. Turunlah hujan, pori-pori tanah tidak mampu lagi menerima air, sehingga air menggenang dimana-mana.

Di litosfer kita berada, dibawahnya beralaskan lempeng-lempeng benua, samudera dan kwan-kawannya. Lempeng itupun ingin bergerak seperti kita untuk duduk pada posisi yang nyaman berdampingan dengan lempeng disebelahnya. Pergerakan lempeng satu dengan yang lain membuat kita kaget (gempa). Gunung Merapi sudah meletus hujan abu menyelimuti wilayah Jateng dan Jogja. Meletusnya Gunung Merapi, gunung-gunung di negeri ini menjadi meningkat aktivitasnya.

Satu untuk negeri. Penggalangan dana dimana-mana

Satu untuk negeri. Doa untuk negeri

Satu untuk negeri. Mengalirnya wedus gembel ke lereng-lereng, gunung-gunung berapi negeri ini pun ikut berpartisipasi. Dapur magma mungkin sudah terlalu jenuh panasnya. Sudah saatnya alam ingin menunjukkan kehebatannya. Selama ini alam sudah lelah melihat keusilan kita pada alam.

Selagi ada kesempatan hidup yuk perbaiki persahabatan dengan alam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline