Bulan September menjadi bulan yang penuh dengan kejadian kelam nan nestapa dalam sepanjang garis sejarah penegakan Hak Asasi Manusia atau HAM di Indonesia. Pasalnya, tak hanya satu atau dua peristiwa saja yang tercatat telah mengobral HAM secara cuma-cuma dan berujung terenggutnya nyawa orang-orang yang berjuang mengharapkan adanya sebuah keadilan. Begitu tidak berharganya sebuah hak yang dan nyawa seseorang di mata para penguasa.
Bahkan, beberapa kasus hingga saat ini tetap saja tak pernah menemukan titik terangnya. September menjadi saksi bisu terbungkamnya suara dari para tokoh perjuangan penegak Hak Asasi Manusia di Indonesia, sedangkan September Hitam menjadi sarana pengingat bagi kita semua tentang betapa kejamnya tragedi yang telah mencederai Hak Asasi Manusia di negara kita tercinta ini.
Salah satu tragedi yang bahkan hingga saat ini masih saja belum ditemukan titik terangnya adalah kasus pembunuhan Munir. Pada 7 September 2004, seorang aktivis hak asasi manusia (HAM), Munir Said Thalib, meninggal dunia karena diracun ketika sedang dalam penerbangan menuju Belanda.
Beliau ditemukan meninggal di pesawat Garuda dengan nomor penerbangan GA-947 ketika sedang menuju Amsterdam untuk melanjutkan kuliah pascasarjana. Institut Forensik Belanda (NFI) membuktikan Munir meninggal akibat racun arsenik dengan jumlah dosis yang fatal. Akibat kejadian tersebut, seorang pilot Garuda yang turut dalam penerbangan bersama Munir, Pollycarpus Budihari Priyanto, ditetapkan sebagai tersangka dengan hukuman 14 tahun penjara.
Namun, pada November 2014 beliau mendapatkan pembebasan bersyarat karena dianggap telah memenuhi persyaratan masa pidananya dan berkelakuan baik sehingga terhitung Pollycarpus hanya menjalani masa hukumannya selama 8 tahun. Hingga saat ini masih belum diketahui apa motif pembunuhan sosok Munir dan siapa sebenarnya dalang utama dalam kasus ini.
Selanjutnya, tragedi kemanusiaan yang terjadi pada bulan September adalah Gerakan 30 September PKI atau biasa dikenal dengan G30S/PKI yang dimana peristiwa ini merupakan upaya penggulingan pemerintahan pada saat itu oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Peristiwa ini juga merupakan salah satu penghianatan terbesar yang terjadi di Indonesia.
Akibat dari peristiwa ini, setidaknya ada 7 Pahlawan Revolusi tewas yang terdiri dari enam jenderal serta satu perwira pertama TNI AD serta diperkirakan juga lebih dari satu juta orang menjadi korban pembantaian, penahanan, pemerkosaan, penghilangan paksa, dan pembuangan. Kebanyakan dari mereka adalah korban kejahatan kemanusiaan terhadap rakyat sipil yang tidak tahu menahu mengenai peristiwa tersebut dan dituduh berhubungan dengan PKI.
Selain itu, terdapat Tragedi Tanjung Priok 12 September 1984 dan Tragedi Semanggi II 24 September 1999 yang dimana kedua tragedi tersebut merupakan peristiwa pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap aksi demonstrasi masyarakat. Banyak nyawa yang melayang akibat kejadian tersebut.
Hal serupa terjadi pada aksi Reformasi Dikorupsi 24 September 2019, dimana mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa di gedung DPR untuk mendesak pemerintah membatalkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), dan segera mengesahkan RUU PKS. Namun, unjuk rasa mahasiswa tersebut berujung penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, dan perburuan layaknya kriminal oleh aparat kepolisian.
Tak hanya pada bidang politik, penyelewengan HAM juga terjadi pada sektor lingkungan. Tujuh tahun yang lalu, tepatnya 26 September 2015 seorang petani dan juga aktivis lingkungan hidup yang dikenal dengan nama Salim Kancil dibunuh secara keji di bawah perintah Kepala Desa setempat. Salim dikeroyok sekitar 40 orang dengan menggunakan sejumlah senjata tajam, batu, hingga kayu hingga beliau meninggal. Salim Kancil diduga dibunuh terkait aktivitasnya bersama kelompoknya, yaitu Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Selok Awar-Awar yang memprotes penambangan pasir di desanya.
Kehadiran tambang pasir yang semakin merebak di desanya sudah dirasakan warga merusak lingkungan setempat, seperti rusaknya saluran irigasi persawahan dan adanya air laut yang menggenangi persawahan sehingga padi tak bisa ditanam akibat pengurukan pasir di pesisir yang dilakukan secara terus-menerus.