Saya adalah salah satu orang luar PAN yang tidak ingin Hatta Rajasa—sang petahana—kembali menjadi Ketum PAN. Kongres ke IV PAN di Bali 28 Februari-2 Maret 2015 adalah titik balik kebangkitan PAN. Sebagai partai medioker (papan tengah), PAN berpotensi menjadi partai papan atas. Syaratnya: regenerasi, revitalisasi, dan reunifikasi.
Harus diakui, adalah kandidat Ketum PAN Zulkifli Hasan yang melempar tiga isu besar tersebut jelang Kongres PAN. Berbeda dengan rivalnya, Hatta Rajasa, yang tidak memiliki isu atau gagasan besar selain hanya membunuh karakter Zulkifli dengan isu-isu korupsi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Bicara masalah regenerasi, jika Hatta kembali menduduki pucuk pimpinan PAN, berarti kaderisasi kepemimpinan macet. Terkait revitalisasi, Bang Zul—panggilannya—sangat jenius dengan menawarkan isu konvensi dalam suksesi kepemimpinan nasional nanti. Artinya, PAN akan menjadi partai terbuka, dan ia ingin menghapus stigma seorang Ketum yang hanya menjadikan partai sebagai kendaraannya untuk nyapres.
Tawaran gebrakan lainnya dalam revitalisasi adalah menata perekrutan kepala daerah, dan pengurus di daerah yang tidak lagi harus sentralistik alias sesuai restu DPP. Dan yang paling fenomenal adalah tawaran Ketua MPR itu untuk reunifikasi atau mengajak para pendiri PAN untuk kembali berjuang di PAN menuntaskan agenda reformasi yang stagnan.
Partai yang lahir dari rahim reformasi ini mempunyai basis riil yaitu Muhammadiyah dan berplatform Pancasilais yang plural. Masalahnya, karena ego elit-elit tua, PAN mandek. PAN hanya menjadi ‘pecahan botol’ di setiap pertarungan politik level Pilpres. Hal yang sangat disayangkan mengingat sosial kapital yang dimiliki partai berlambang matahari itu.
Jika saja sosial kapital itu dimanfaatkan, bukan tidak mungkin PAN akan seperti PKB yang di pemilu 2014 kemarin sangat cerdik mendompleng ketenaran nama-nama beken dalam kampanyenya. Tidak ada salahnya meniru gaya cerdik bin licik PKB. Tapi jangan licik dan picik banget kayak PKB yang habis manis sepah dibuang.
Setelah meniup angin sorga (ansor), atawa pemberi harapan palsu (PHP) ke Bang Haji Rhoma Irama, mantan Ketua MK Mahfud MD, dan Wapres Jusuf Kalla, mereka tidak diperjuangkan sepenuh hati menjadi capres dari PKB. Selain itu, nama Gus Dur selalu disimbolkan oleh Muhaimin sebagai pendiri PKB yang padahal dia sendiri yang ‘menusuk’ pamannya itu. Kecerdikan PKB lainnya adalah selalu menenteng Ahmad Dhani dan anaknya yang unyu, Al, dalam beberapa kampanye.
Nah isu reunifikasi Zulkifli Hasan dan Ketua Majelis Pertimbangan Partai Amien Rais yang akan mengajak kembali beberapa tokoh dan pendiri PAN seperti Goenawan Mohammad, Faisal Basri, AM Fatwa, Abdillah Toha, Dr. Rizal Ramli, Dr. Albert Hasibuan, Toety Heraty, Prof. Dr. Emil Salim, Drs. Faisal Basri, M.A., A.M. Fatwa, Zoemrotin, Alvin Lie Ling Piao, dan lainnya, sudah sangat tepat. Mengingat di kepemimpinan Hatta tokoh-tokoh itu tak pernah diwongkan (baca: dianggap atau diorangkan).
Mantan Ketum PAN 2005-2010 Soetrisno Bachir yang masih memiliki basis massa yang kuat di Jawa Tengah juga dirangkul kembali untuk membesarkan PAN. Mungkin tokoh Muhammadiyah lainnya seperti Din Syamsuddin, Hajriyanto Tohari yang sepertinya sudah tidak mendapat di Golkar (kubu ARB maupun Agung) karena tidak bersikap dalam dua kongres Golkar akhir tahun kemarin, bisa ditransfer ke PAN. Wah, PAN akan kaya tokoh, dan otomatis menjadi magnet suara, menjaring massa seluas-luasnya dengan ketokohan orang-orang di atas. PAN menjadi semakin dinamis, dan sangat terbuka dengan banyak gagasan.
Asal Bukan Hatta
Saya lulusan pesantren yang pengasuh dan pengajarnya didominasi orang Muhammadiyah. Karena itu, doktrin yang berhasil memengaruhi pilihan politik saya saat mencoblos untuk pertama kali adalah PAN dan Prof. Amien Rais untuk Capres 2004. Bahkan, karena sosok Amien selalu dielu-elukan saat itu, saya sampai memilih Dahlan Rais, adik kandung Amien untuk kursi DPD RI dari Jateng pada 2004 silam. Padahal kenal saja tidak.
Chemistry saya dengan PAN sebenarnya sudah ada sejak saya di bangku SMP. Saat itu Amien Rais sebagai tokoh reformasi hampir setiap saat menjadi headline berita nasional. Nah, pada Pemilu 1999, pemilu pertama di era reformasi itulah saya kecil bahagia sekali ikut kampanye dan dengan bangganya menenteng bendera PAN. Ya, namanya juga anak kecil. Waktu pemilu 1997 malah saya fanatik PPP karena kakek saya anggota DPR dari PPP sejak 1987.
Nah, kembali ke PAN. Sebagai pecinta demokrasi dan pembenci politik dinasti, maka saya akan ikut menyuarakan dukungan saya yang notabene orang luar PAN ini kepada siapa saja asal bukan Hatta! Untung ada Zulkifli Hasan. Kalau mas Anang Hermansyah mau maju, monggo, nanti aku sih yes daripada Hatta masih mending sampeyan. Hihihi…
Kenapa jangan Hatta? Meminjam istilah Direktur Utama PT Indoguna Utama, Maria Elizabeth Liman yang pernah menjadi saksi untuk terdakwa kasus korupsi sapi mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, si The White Hair Man itu nanti hanya akan menjadikan PAN sebagai kendaraan kartel politiknya bersama sang besan, mantan Presiden RI SBY.
SBY masih sangat berkepentingan dengan PAN yang selama masih sang besan menjadi Ketum. Coba perhatikan duet maut mereka di pemerintahan dan parlemen saat SBY masih menjadi presiden, dan Hatta Menko Perekonomian. Di setiap paripurna, apa yang menjadi pilihan Demokrat, PAN selalu manut. Saat ini, PAN di bawah Hatta dan Demokrat dengan komando SBY seperti seiring bersama. Mereka kompak saat paripurna UU Pilkada, dan menunda-nunda pengesahan Kapolri Budi Gunawan baca: Manuver Demokrat dan PAN Ulur Paripurna Sahkan Calon Kapolri.
Wah kira-kira rencana jangka panjang SBY dan Hatta apa yah? Hatta Capres, dan Demokrat mencalonkan calonnya sebagai cawapres Hatta di Pilpres 2019. Bisa jadi, bisa jadi. Semua mungkin dalam politik. Salam lawan manuver SBY-Hatta!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H