Lihat ke Halaman Asli

AKSEN

Media Arragement

Hak Asuh Anak Bersifat Fungsional

Diperbarui: 19 Januari 2023   21:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada prinsipnya kedua orang tua sama-sama memiliki kewajiban dalam memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya (Pasal 45/UUP I/1974). Kewajiban kedua orang tua tersebut berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orangtua putus, kewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak (pasal 41 huruf (a) UU No 1/1974). Kompilasi Hukum Islam memberikan uraian yang lebih detail tentang hal itu dalam dua pasal yaitu Pasal 105 dan 156. Dalam pasal 105 pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua belas) tahun adalah hak ibunya, sedangkan untuk anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya dan biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. Adapun pasal 156 menyebutkan apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.

Adapun dalam Fiqih, mayoritas ulama fikih memberikan prioritas hak asuh anak kepada ibu dari pada ayah. Argumen mereka adalah perempuan mempuyai naluri yang lebih sesuai untuk merawat dan mendidik anak, serta adanya kesabaran mereka dalam menghadapi permasalahan kehidupan anak-anak lebih tinggi dibanding kesabaran seorang laki-laki. Apabila anak tersebut sudah mencapai usia tertentu maka pihak laki-laki dapat dianggap lebih sesuai dan lebih mampu untuk merawat dan mendidik serta menghadapi berbagai persoalan anak tersebut sebagai pelindung. Atas dasar itu, dalam memberikan urutan hak asuh anak ulama fikih mendahulukan perempuan dari pada laki-laki berdasarkan tumbuh kembang anak. Walaupun ulama fikih sepakat bahwa hak asuh anak yang belum mumayyiz jatuh pada ibunya, tapi ibu tersebut menurut para ulama fikih harus memenuhi beberapa syarat untuk mendapatkan hak asuh yaitu beragama Islam, mempuyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik anak, dapat dipercaya memegang amanah, dan berakhlak baik sehingga lebih menjamin pemeliharaan anak, dan ibunya tersebut disyaratkan belum menikah dengan laki-laki lain (Satria Effendi, 2010).

Masalah hak asuh anak seringkali menjadi polemik yang timbul pasca perceraian, padahal anak bukan untuk dikuasai tetapi bagaimana orang tua dapat berpartisipasi untuk mengasuh anak, hak asuh harus mengutamakan kepentingan anak sesuai perkembangannya dan tidak semata mata hanya kepentingan ego dan adu kemampuan orang tuanya. Begitu penjelasan dari Direktur Akademika Semesta Nusantara Dr. Wardah Nuroniyah, SHI, MSI yang juga merupakan Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam menyampaian pendapatnya sebagai Ahli dalam sidang kasus Hak Anak perkara 6254/Pdt.G/2022/PA.Tgrs pada hari kamis tangga 19 Januari 2023 di PA Tigaraksa Banten. Menurutnya bahwa pemberian hak asuh anak berdasarkan pada kualitas, integritas, moralitas, kesehatan lahir batin dan kemampuan mendidik dan memelihara anak dan mewujudkan kepentingan terbaik anak untuk masa depan anak. Aspek kualitas dan kemampuan mendidik dan memelihara anak tidak bisa dimonopoli oleh jenis kelamin tertentu akan tetapi semua aspek tersebut sama-sama bisa dimiliki baik oleh kaum perempuan (ibu) maupun oleh kaum laki-laki (bapak). Adapun Ibu lebih diutamakan dari pada ayah karena berdasarkan cognitif nature (watak kognitif) atau logika berpikir yg digunakan berdasarkan kebiasaan dan sosial budaya.  Ketentuan yang ada dalam KHI dan kitab-kitab fikih klasik yang berperspektif maternal preference, alasan perempuan lebih sabar, lebih lembut, lebih sayang dan lebih banyak mempuyai waktu untuk mendidik dan memelihara anak tersebut merupakan sifat dan atribut yang dilekatkan kepada perempuan secara sosial dan kultural yang sangat mungkin karakter dan konsepsi perempuan semacam itu pada suatu saat pada masyarakat tertentu akan berubah. Hal ini dikarenakan gender berkaitan dengan pikiran dan harapan masyarakat (sosial kultural) tentang bagaimana seharusnya menjadi laki-laki dan perempuan. Gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Karakter dan konsepsi perempuan lebih sabar, lebih lembut, lebih sayang dan lebih banyak mempunyai waktu untuk mendidik dan memelihara anak tersebut merupakan bentukan sosial dari pengalaman masyarakat. Gender tersebut berubah dari waktu ke waktu yang lain, berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Dari kelas tertentu ke kelas yang lain.

Lebih lanjut Dr. Wardah Nuroniyah, SHI, MSI mengemukakan bahwa yang terpenting dalam hak asuh anak berpegang pada prinsip 'Taradlin dan Tasyawur dalam hal mewujudkan kepentingan anak, hal ini dapat dipahami secara mafhum mufafaqah dari Q.S al-Baqarah (2): 233. Pelaksanaan Hadlanah juga harus berprinsip pada Prinsip Mubadalah/resiprokal, yaitu kebaikan didalamnya harus diperoleh kedua belah pihak (masing-masing sebagai aktor aktif dan penerima manfaat). Martabah yaitu anak sebagai orang yang bermartabah harus terpenuhi kebutuhannya. 'Adalah, kapasitas, ilmu, kedudukan yang berbeda-beda mengakibatkan pihak yang memiliki kelebihan harus memberikan manfaat lebih besar. Dan juga prinsip Maslahah yaitu visi, tujuan dan potensi dikembangkan dan didorong untuk memiliki, menikmati dan mencapai maslahah bersama. Pelaksanaan hadlanah harus memenuhi 5 Pilar; Pertama, Mas'uliyyah, tanggung jawab, orang yang diberi hak asuh bukan hanya mempunyai sikap tanggung jawab tetapi jg mampu mentranformasi sikap tanggung jawab tersebut kepada anaknya. Kedua, Maslahah; Hadlanah harus berprinsip kepada kepentingan anak. Ketiga, Uswah harus menjadi teladan, mempunyain kredibilitas dan mampu mempraktikkannya. Keempat, Fitrah, pengasuhan anak harus disesuikan dengan perkembangan tumbuh kembang anak baik fisik, psikis, intelektual dan spiritual. Kelima, Rahmah menjadi kunci utama dari keempat pilar sebelumnya, sikap welas asih kasih sayang yang tulus dan tanpa melibatkan keegoisan pribadi (Faqihuddin, 2021). Prinsip tersebut sebagai implementasi dari maqashid syariah yang lima, yaitu (i) Memelihara agama (Hifd al-Din) dengan menjaga akidah anak dengan cara memberikan pelajaran keagamaan. Hendaknya seorang pendidik atau orang tua harus mempunyai kematangan spiritual dan mampu mengedukasi anaknya menjadi manusia spiritual. (ii) Memelihara jiwa (Hifd al-Nafs) yakni dengan  memelihara, menjaga dan memenuhi semua kebutuhan tumbuh kembang anak. (iii) Memelihara akal (Hifd al-Aql), akal merupakan bagian terpenting dalam kehidupan, maka sebuah keharusan memberikan Pendidikan yang layak untuk anak demi mempersiapkan masa depannya. (iv) Memelihara keturunan (Hifd al-Nasl) yakni dengan keturanan berkualitas maka berlanjutlah kehidupan manusia yang berkualitas. (v).memelihara harta (Hifd al-Mal) dalam hal ini anak membutuhkan harta dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari untuk kelayakan hidup.

                                                                                        Dr. Wardah Nuroniyah, SHI, MSI. Direktur AKSEN

Pelaksanaan Hadlanah juga harus mengacu kepada prinsip Hak-hak anak menurut Konvensi Hak Anak (KHA) atau UNCRC (United Nations Convention on the Rights of the Child). Hak Anak dikelompokkan dalam 4 kategori, yaitu Pertama, Hak Kelangsungan Hidup, hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya. Kedua, Hak Perlindungan, perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi, kekerasan dan keterlantaran. Ketiga, Hak Tumbuh Kembang, hak memperoleh pendidikan dan hak mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial. Keempat, Hak Berpartisipasi, hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak. Setidaknya lima hak dasar anak yang harus dipenuhi dalam hadlanah, Hak mendapatkan taraf hidup dan fasilitas yang layak (UU No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak), Hak memperoleh asupan gizi yang cukup dan seimbang (UU No. 35 Tahun 2014), Hak memperoleh pendidikan (UU No. 20 Tahun 2003), Hak mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi dan hak untuk hidup sehat (UU No. 35 Tahun 2014 perubahan UU No. 23 Tahun 2002).

Terkait ketentuan pasal 105 KHI Dr. Wardah Nuroniyah, SHI, MSI menegaskan bahwa hakikat dasar hukum adalah untuk manusia, yaitu dalam rangka mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Posisi yang demikian mengantarkan satu predisposisi bahwa hukum itu selalu berada pada status law as a process dan law in the making" (hukum yang selalu berproses untuk menjadi). Hukum tidak     hadir untuk dirinya sendiri, kebenaran tidak terletak dalam tubuh peraturan, dengan melihat hukum yang hanya berupa pasal-pasal jelas tidak bisa menggambarkan kebenaran dari hukum yang sangat kompleks. Hukum harus menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat dengan manusia dan masyarakat, hukum selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri. Sejatinya Islam merupakan sebuah sistem yang terbuka (Openess), ia memiliki jangkauan yang luas. Sistem yang terbuka merupakan sistem yang senantiasa berinteraksi dengan lingkungan disekitarnya. Bahwa keterbukaan sangat penting bagi hukum Islam, karena hukum Islam perlu pembaharuan dalam menghadapi persoalan baru agar tidak menjadi hukum Islam yang statis. Maka dalam hukum berpikir harus secara multidimensi tidak cukup apabila hanya berpikir satu atau dua dimensi saja. Maqashid hukum Islam merupakan tujuan inti, untuk itu validitas ijtihad harus ditentukan berdasarkan kadar kebermaksudannya yakni tingkatan realisasi maqashid syariah yang dilakukan. Menggali dan memahami maqashid harus dikembalikan pada semangat al-Quran. (Audah, 2015). Maka dalam setiap putusan yang hendak dijatuhkan oleh hakim dalam menyelesaikan suatu perkara, perlu diperhatikan tujuan hukum yang sangat essensial yaitu kepastian keadilan (gerechtigheit), kemanfaatan (zwachmatigheit), dan kepastian (rechsecherheit). Ketiga hal ini harus mendapat perhatian yang seimbang secara profesional, sehingga putusan hakim bermanfaat dalam kehidupan masyarakat, terutama bagi pencari keadilan. Setidaknya ada tiga fungsi hakim dalam memutus suatu perkara menurut hukum, yakni: menerapkan hukum, menemukan hukum, dan menciptakan hukum. Putusan hakim sebagai a tool of social engineering mempunyai potensi sebagai penyeimbang antara kekakuan dan kestatisan hukum tertulis dengan perubahan sosial, kelambanan hukum atau undang-undang dapat diimbangi dengan karakter judge made law yang dinamis serta lebih mudah  menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat. Maka Penegakan hukum berprespektif Anak sebuah keharusan demi solusi kemanusiaan yang qur'ani yaitu keadilan hakiki untuk semua pihak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline