[caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="Arisan sosialita gelar acara buka puasa bersama kaum dhuafa (www.bbc.co.uk/indonesia)"][/caption] Penutupan bulan Juli yang lalu jejaring sosial kita dihebohkan dengan berita BBC News Indonesia yang meliput acara amal yang digelar kaum sosialita Indonesia bagi anak-anak miskin disebuah tempat mewah. Video yang berdurasi 3 menit tersebut dibuka dengan cuplikan tarian sufi, kemudian beralih menyoroti seorang wanita yang tengah memperbaiki riasannya dan kemudian disusul dengan wawancara yang berfokus kepada aktifitas arisan yang dijelaskan menelan biaya hingga ribuan dollar dan diakhiri dengan mengkontraskan realita kemiskinan penduduk Indonesia. Dalam rentang waktu singkat, berita tersebut mengundang berbagai respon balik di jejaring sosial. Sejumlah akun turut mengkritisi gaya hidup sosialita yang dinilai menghamburkan uang ditengah kemiskinan penduduk lainnya. Beberapa yang lain sekedar mengutarakan rasa malu, lainnya menyumbang saran bagaimana seharusnya dana yang besar tersebut sebaiknya digunakan kegiatan yang lebih memiliki manfaat jangka panjang bagi anak-anak miskin; seperti menjadi orang tua asuh ataupun membantu biaya pendidikan mereka. Melihat respon yang sebagian besar negatif tersebut, saya tertarik untuk mengunggah tayangan BBC tersebut beberapa kali untuk melihat apakah saya akan turut malu (lihat). Di awal tayangan, perasaan saya sedikit merasa terganggu melihat cuplikan seorang ibu yang tengah memperbaiki riasannya disorot dekat oleh kamera. Saya menerka-nerka perasaan ibu tersebut. Lalu ketika saya melanjutkan, saya mulai memikirkan kembali tujuan pengemasan berita berikut proses peliputannya yang saya kira sengaja dikemas untuk mengkritisi gaya hidup jetset sebegai pola hidup yang negatif. Kemiskinan dan kekayaan di Indonesia dan berbagai belahan dunia lainnya memang sering kali menjadi sisi yang dikontraskan satu sama lain. Dalam hal pembandingan ini, sisi kalangan menengah ke atas kerap kali digambarkan secara negatif yang menghamburkan uang, kurang berempati dan tidak bijaksana. Hal ini terjadi karena kemampuan matrealistis pribadi dinilai dari segi relasinya dengan lingkungan sosial. Ada baiknya kita mengingat bahwa kepemilikan materi pada dasarnya bersifat pribadi. Manusia memiliki sifat kepemilikan dan hasrat untuk menguasai secara naluriah. Hal ini terjadi secara alami dan dirasakan oleh setiap individu, tanpa terkecuali oleh status sosial. Oleh sebab itu, negara sebagai bentuk institusi komunitas tertinggi menciptakan berbagai peraturan yang disusun untuk melindungi hak-hak pribadi dalam menjaga harta bendanya secara legal, tanpa mencederai hak individu lainnya. Disisi lain, dalam segi relasi sosial manusia diberikan kewajiban tidak tersirat untuk tergabung dalam support system bagi komunitas. Sistem pendukung dan distribusi materi ini telah berakar dalam kehidupan kita semenjak ribuan tahun yang lalu, dipelopori oleh ajaran agama yang kita kenal dalam sebutan (misalnya) amal jariah dan persepuluhan. Sistem sosial ini mengubah sifat kekayaan yang pribadi, menjadi bersifat komunal dan tidak dapat dikuasi secara pribadi. Terlebih lagi, dalam perkembangannya, sistem sosial semakin mengikat sehingga kerap kali mencederai hak kepemilikan individu dengan opini publik yang mengkritisi cara penggunaan pribadi terhadap hak miliknya. Hal ini menjadi ironi tersendiri, mengingat hampir seluruh manusia modern bekerja untuk meningkatkan taraf hidup pribadinya hanya untuk digurui kembali perihal bagaimana seharusnya kita mengelola milik pribadi. Kita menjadi berhati-hati dalam menggunakan materi yang kita kumpulkan untuk menghindari opini dan perasaan publik dan komunitas di sekitar kita. Contoh ini dapat kita saksikan dalam tayangan BBC tersebut yang mengkritisi bagaimana harga tas mewah satu wanita seolah 'telah terbuang percuma' apabila dibandingkan dengan bantuan yang dapat diberikan kepada Ibu Rohma untuk membayar uang sewa selama dua tahun, atau untuk membiayai satu keluarga dengan tujuh orang anak. Mencoba membuat analogi serupa untuk menggambarkan apa yang sedang BBC lakukan dalam liputan tersebut, saya mengambil bayangan apabila suatu hari kita selalu merasa bersalah telah membeli baju seharga dua ratus ribu rupiah, membayangkan keluarga ibu Rohma hanya memperoleh dua puluh ribu dalam satu hari. Terlepas dari status 'kalangan menengah ke atas' atau 'menengah ke bawah', manusia modern secara pribadi memiliki hasrat yang sama besarnya untuk mengkonsumsi baik benda dan pelayanan. Strata masyarakatlah yang membedakan pola dan daya konsumsi masyarakat. Menjadi sangat besar, apabila kita melihat daya konsumsi yang mampu dikeluarkan kalangan menengah ke atas, terutama apabila dibandingkan dengan dana yang dibutuhkan oleh kalangan menengah ke bawah. Hal inilah yang terjadi apabila milik pribadi telah dikaitkan dengan kewajiban secara sosial. Namun apabila kita melihat dari segi pribadi, hal ini menjadi lumrah dan sah perihal bagaimana seseorang mengelola miliknya, terlepas besar atau kecilnya. BBC mengemas berita tersebut secara menarik, namun lalai melihat sisi privasi penggunaan hak milik dan lalai dalam mengemas bagaimana dana tersebut juga telah mengena segi sosialnya. Perihal sejauh mana seharusnya dana sosial tersebut seharusnya dikelola merupakan cerita lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H