Lihat ke Halaman Asli

'Buwuhan', Darimana Asalmu?

Diperbarui: 30 Januari 2016   18:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sore hari menjelang malam itu, tepatnya setelah beberapa penduduk selesai menjalankan ibadah shalat isya' di salah satu musholla di sudut desa, sayup-sayup mulai terdengar alunan musik dangdut menyeruak memenuhi seisi desaku. Terdengar kabar, ada salah seorang penduduk desa yang sedang mempunyai hajat yang dalam istilah jawa lebih sering disebut dengan bahasa ngunduh mantu. Pernikahan atau perkawinan, secara umum orang menyebutnya. Bukan semata menjadi tradisi, bahkan suatu hal yang bahkan bersifat 'wajib' ketika ada seseorang menyelenggarakan pesta pernikahan lalu ada semacam hiburan musik (orkes) dangdut di dalamnya.

Menarik, saya menyebutnya demikian. Bukan tanpa alasan, karena memang penduduk desa rata-rata akan merasa terhibur jika di desanya ada suatu hiburan semacam acara orkes dangdut seperti halnya cerita di atas. Itu karena sebagai penduduk desa, mereka akan sangat jarang sekali, bahkan tidak pernah mendapat wahana hiburan sebagai penyegar otak di kala jenuh melanda. Ya, sekalipun hiburan yang ada sebenarnya juga hanya menumpang pada salah seorang penduduk yang kebetulan menyelenggarakan hajatan. Itu pun kalau penduduk yang sedang berhajat mempunyai rezeki lebih untuk mendatangkan acara hiburan sebagai bingkai dari hajatan yang sedang diselenggarakan.

Berbicara seputar hajatan pernikahan dan sejenisnya, ada hal yang sebenarnya sangat menarik untuk diperbincangkan dari sekedar berbicara persoalan acara hiburan yang ada di dalamnya. Tradisi buwuhan, mayoritas masyarakat menyebut demikian. Buwuhan yang dimaksud di sini, bukan proses datangnya seseorang memenuhi hajat atas undangan orang lain secara fisik, tapi embel-embel 'amplop' yang ada di dalam rangkaian acara hajatan tersebut. Karena menurut cerita yang ada, akan ada sanksi sosial bagi seseorang yang tidak membawa buwuhan ketika mendatangi sebuah undangan hajatan pernikahan atau sejenisnya. Sanksi sosial yang dimaksud sangat beragam bentuknya, salah satu contoh diantaranya yaitu berupa gunjingan orang lain, baik secara terbuka maupun yang bersifat rasan-rasan. Dari sini kemudian saya berpikir dan bertanya pada diri sendiri, darimana awal tradisi semacam ini tercipta dan hampir selalu muncul di setiap hajatan yang ada?

Jika melihat korelasi antara setiap acara hajatan tersebut dengan tradisi buwuhan yang ada, akan sangat sulit menghubungkan dua aspek ini dari sudut pandang yang berkaitan dengan akal sehat manusia. Karena pada zaman Nabi - ini jika dikaitkan menurut perspektif Islam - maka tidak akan pernah kita jumpai hal semacam itu terjadi pada zaman beliau. Bahwa yang kita tahu selama ini, memenuhi undangan orang lain hukumnya adalah wajib. Dan tidak ada dalil yang menyebutkan hukum maupun ketentuan berkenaan dengan buwuhan seperti yang ada saat ini. Apalagi jika tinjauannya berkaitan pada aspek sebab akibat yang muncul seputar fenomena tersebut. Orang yang memenuhi undangan, maka wajib baginya untuk menyertakan buwuhan seperti yang dimaksud di atas. Dan uniknya, buwuhan tersebut secara otomatis akan masuk kategori hutang yang wajib dibayar/dikembalikan ketika pengundang berada pada posisi sebaliknya. Sungguh fenomena yang benar-benar unik dan bahkan telah merasuk menjadi tradisi yang turun temurun.

Setiap dari kita dituntut untuk memunculkan satu keadaan dimana prosesi hutang piutang tercipta tanpa ada alasan atau sebab yang rasional. Alasan di sini bermakna akad yang melandasi munculnya kondisi tersebut. Dimana akad tersebut sesungguhnya haruslah berdasar pada sebab musabab kenapa seseorang melakukan prosesi hutang piutang, bukan karena unsur atau alasan memenuhi undangan hajatan orang lain. Inilah yang saya sebut sebagai suatu keunikan tradisi yang sangat tidak masuk akal.

Tapi inilah suatu realita yang sekali lagi tak bisa dipungkiri dan juga tak bisa dibenarkan. Dilema ketika harus memposisikan diri pada satu keadaan semacam itu. Hanya bisa merenung sambil tersenyum kecil melihat pola pikir masyarakat yang lucu serta unik. Tapi mungkin masih bisa ditoleransi jika dibandingkan dengan gaya perilaku pejabat negeri ini yang otaknya selalu berpikiran korup. Korup dalam segala hal.

Dan lagi-lagi negeri ini serasa ingin tertawa melihat perilaku lucu serta unik para penghuninya.

Wallaahu a'lam...

#HadiAhmad

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline