Lihat ke Halaman Asli

Ketika Wasit Kerap Abai, ke Mana Sepak Bola Harus Bertumpu?

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14145945241960688178

[caption id="attachment_370452" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi wasit. (Dok. Bleacherreport/Kompas.com)"][/caption]

Sepak bola negeri ini kembali hangat diperbincangkan. Bukan kesuksesan Timnas U-19 apalagi Timnas senior melainkan bobroknya kompetisi Liga Indonesia. Kebobrokan di Liga Indonesia belakangan ini seperti terus tumbuh subur layaknya jamur di musim hujan. Entah permasalahan gaji pemain, klub sudah tidak mampu beroperasi, kericuhan, kematian suporter, dan wasit Indonesia yang masih (maaf) belum pintar juga.

Ketika babak delapan besar dua kasta teratas kompetisi di negeri ini bergulir, kebobrokan-kebobrokan yang saya sebutkan di atas muncul dengan sangat telanjang seperti sudah terstruktur, sistematis, dan masif. Rasanya baru kemarin kita melihat kericuhan di Solo karena ketidaktegasan wasit di Divisi Utama dan masih basah juga luka (baca: ingatan) kita mengenai sepak bola gajah antara PSS melawan PSIS.

Ternyata ketidaktegasan atau ketidakmampuan wasit memimpin jalannya laga tidak hanya terjadi di kasta bawah sampai kasta kedua Liga Indonesia. Penyakit ini seakan terus menyebar hingga kasta tertinggi kompetisi di Indonesia, ISL. Bahkan mungkin juga penyakit ini mulanya dibawa oleh wasit di ISL.

Perlu kita ingat untuk babak delapan besar ISL kabarnya wasit sudah dikarantina untuk (katanya) menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan. Tetapi nyatanya wasit di ISL masih terlalu lembek untuk pelanggaran-pelanggaran yang kasar atau ceroboh.

Ketidaktegasan wasit di babak delapan besar ISL sudah terlihat sejak pertandingan derby Bandung antara PBR melawan Persib. Seandainya wasit di pertandingan itu lebih tegas seharusnya ada lebih dari satu kartu merah yang keluar dari sakunya. Lalu juga ketika Najamudin Aspiran memimpin laga antara Persipura melawan Arema. Karena abai terhadap beberapa pelanggaran kasar membuat pemain terlena akan pelanggaran kasar yang dilakukannya. Hal ini berakibat perkelahian yang melibatkan Ruben Sanadi dengan Dendi Santoso. Dan baru beberapa jam yang lalu saya kembali menyaksikan bagaimana seorang wasit yang memimpin pertandingan ISL terlihat begitu amatir. Dengan pandangan yang begitu terbuka wasit Nova Ikhsan Arilaha tidak memberikan ganjaran pelanggaran terhadap tekel brutal Kurnia Meiga kepada Osas Saha. Tanpa air muka bersalah wasit menunjuk kepada tendangan pojok. Bahkan Meiga seharusnya mendapat kartu merah untuk pelanggaran tersebut, bukan cuma karena itu last man foul tetapi juga karena bagaimana kaki Meiga mengarah ke selangkangan Osas.

Bukan sekali dua kali kita mendengar PSSI mengatakan akan memperbaiki kualitas wasit. Tetapi hasilnya nol besar. Belum ada perubahan kualitas wasit di Indonesia dari dulu hingga sekarang. Wajar saja banyak orang mengganggap ada mafia di sepak bola negeri ini, ada juga yang mengganggap gagalnya PSSI dan PT Liga Indonesia dalam mengelola kompetisi di Indonesia. Belum lagi sering kita jumpai ketidaktegasan hukuman dari Komite Disiplin, Komite Banding, dan Komite Wasit.

Sebaiknya PSSI tidak hanya belajar di luar negeri untuk tahu cara mengurus kompetisi (termasuk pembinaan usia dini). Tetapi PSSI juga bisa belajar dari cabang olahraga lain di Indonesia seperti basket misalnya, lihatlah bagaimana PT. DBL mengelola kompetisi dengan sangat menarik.

Sekarang saatnya kita kembali bertanya sudah sehatkah sepak bola negeri ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline