Lihat ke Halaman Asli

Akrim Lahasbi

Mahasiswa

Peran Guru Honorer sebagai Representasi Pendidikan Indonesia

Diperbarui: 25 Agustus 2021   07:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Kau jadi kyia, itu jasa guru. Kau jadi profesor, itu jasa guru. Kau jadi insinyur, itu jasa guru, kaum presiden itu jasa pun jasa guru". Kurang seperti itu potongan lagu Qasidah yang selalu diperlombakan dan dinyanyikan setiap peringatan hari guru di Lamakera, Flores Timur.

Abdurrahim Arsyad, seorang komika dari Lamakera, Flores Timur dalam materinya ia memberangkatkan pada kisah ibunya yang sudah sekian lama mengabdi menjadi guru. 

Dengan adanya sertfikasi guru, maka sudah tentu guru di tuntut untuk kreatif, akan tetapi bagaimana dengan hak guru yang sudah seharusnya ia dapatkan dari negara saat ini. Saya pikir negara harus melihat pada peran guru secara pengabdian terlebih dahulu bukan pada kreatifitas.

Mengapa demikian, karena memang tidak semua guru memahami itu semua, melainkan hal-hal krusial yang dihadapakan masyarakat pelosok harus mendapatkan perhatian dan pelayanan pendidikan yang layak. Guru dituntut kreatif, ditengah perkembangan yang lambat serta kebijakan pendidikan yang tidak pro terhadap keberadaan guru.

Perkembangan aspek-aspek tertentu dalam pendidikan pada era kali ini mulai memojokkan peran guru honorer dengan adanya konsolidasi dalam pengadaan Pegawai Negeri Sipil atau Aparatur Sipil Negara dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu. Tentu saja melihat arah kebijakan juga masih jauh memberikan kesejatheraan kepada kaum-kaum yang terbawah dalam pekerjaan mereka.

Saya pikir guru honorer hari ini harus dikaji oleh negara secara merata dan aktif. Sebab, masalah-masalah yang di hadapkan oleh guru honorer berbeda dengan kebanyakan pekerjaan-pekerjaan lainnya dalam memajukan pendidikan Indonesia. Seperti harus menerima kenyataan dengan gaji yang bisa dikatakan tidak cukup buat bertahan hidup selama satu bulan, serta masalah-masalah kesejatheraan lainnya.

Hal demikian, coba kita pahamkan bersama, guru honerer yang memiliki pengabdian yang luar biasa terhadap pembentukan karakter siswa-siswa, meluangkan waktunya untuk memberikan ilmunya, serta rela untuk tidak digaji hanya karena menghargai orangtua siswa yang sesama memiliki taraf hidup dibawah standar. Pada kondisi inilah negara harus lebih banyak melakukan pendataan, memberi kesejatheraan kepada honorer tanpa pilah memilah.

Sebagai mahasiswa dari daerah pelosok Nusa Tenggara Timur, saya melewati masa-masa sekolah bersama para ibu bapak guru honorer, hingga sampai menjadi mahasiswa semester akhir, guru-guru itu pun belum ada yang diangkat menjadi pegawai negeri. Melewati batas hidup pendidikan, guru honorer hanya ingin adanya perhatian khusus.

Itu semua tentu tidak hanya pada kita lihat dari kacamata pengalaman saja, tetapi bagaimana kemudian adanya kebijakan yang pasti terkait keberadaan guru honorer atau pegawai-pegawai yang masih berstatus honor. 

Dengan adanya Undang-Undangan Nomor 14 Tahun 2005, sampai saat ini juga belum memberikan perubahan dan belum menyentuh perbaikan nasib serta kesejatheraan yang baik kepada guru-guru honorer. Oleh sebab itu , Negara dalam hal ini harus melakukan afirmasi terhadap guru honorer itu sendiri.

Penulis pikir harus ada kebijakan khusus yang dibuatkan untuk memberikan ruang perbaikan nasib dan demokratisasi kepada guru honorer dalam pengabdiannya. Masalah-masalah demikia, bukan pembahasan yang baru, melainkan sudah dibahas puluhan tahun yang lalu tentang nasib guru honorer yang ia sebagai representasi dari pendidikan Indonesia saat ini. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline