Kalimat ''berani berbuat berani bertanggung jawab", rasa-nya sudah sangat akrab terdengar dalam telinga kita. Sejak kita menempuh sekolah taman kanak kanak hingga kuliah di perguruan tinggi, kalimat ini senantiasa ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kita dituntut untuk * selalu bertanggung jawab atas segala hal yang telah dilakukan. Tanggungjawab tentu bukan hanya sekedar wacana, namun yang lebih penting lagi adalah cara melaksanakannya dalam kehidupan nyata di lapangan.
Sekadar contoh, ketika dalam proses hukum yang sedang dilakukan oleh aparat penegak hukum, ternyata masih ada seorang tersangka yang dipanggil oleh lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, atau KPK mangkir. Hal itu menggambarkan betapa tidak mudahnya kita berani mempertanggungjawabkan sesuatu yang telah kita lakukan.
Dalam konstitusi negara telah ditegaskan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan hukum yang sama. Tidak ada satu warga negara pun yang diistimewakan dan memperoleh perlakuan istimewa. Di mata hukum, seorang presiden sama saja dengan seorang tukang becak. Kalau mereka melanggar hukum, maka mereka pun harus patuh terhadap aturan perundangan yang berlaku.
Di beberapa negara sering kita saksikan adanya presiden atau mantan presiden yang terpaksa harus berakhir di penjara. Bahkan, ada juga mantan presiden yang rela menghentikan nyawanya sendiri dengan cara bunuh diri karena terbukti melakukan korupsi atau pelecehan seksual. Apakah hal yang demikian dapat kita sebut sebagai wujud dari makna berani berbuat berani bertanggung jawab? Berani berbuat berani bertanggung jawab adalah sikap sejati seorang ksatria.
Dalam situasi sebagian besar warga bangsa sedang terjebak "penyakit hipokrit", rasanya kita akan kesulitan menemukan sosok yang mau dan berani mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang telah diperbuatnya.
Di negara kita sendiri kerap kali terekam perilaku orang-orang yang layak disebut hipokrit. Kalau masih dapat berbohong, buat apa harus mengaku. Kalau sudah duduk nyaman dalam jabatan, buat apa cepat-cepat harus diserahkan kepada orang lain. Bahkan kalau masih memungkinkan untuk diberlakukan diberlakukan skenario konstruksi hukum nya, buat apa dilakukan hal-hal yang normatif.
Suasana inilah yang sudah sejak lama tumbuh dan berkembang di negara kita. Semua bisa diatur dapat dikompromikan selama belum masuk terlalu dalam atas masalah yang dihadapinya.
Ada hal menarik yang terjadi beberapa tahun lalu di negara matahari terbit. Menteri Jasa Keuangan Jepang, Tadahiro Matsushita, ditemukan tewas di rumahnya. Polisi menduga pria berusia 73 tahun itu bunuh diri. Kematiannya terjadi dua hari sebelum sebuah tabloid akan membeberkan berita perselingkuhannya. Sang menteri ditemukan gantung diri di rumahnya di Tokyo, Jepang pada Senin, 10 September 2013-Menurut media Mainichi Shimbun dan media Jepang lainnya, di rumah tersebut ditemukan surat-surat yang ditujukan untuk istrinya, Perdana Menteri Yoshihiko Noda, dan para -anggota kabinet.
Yang menarik untuk dianalisis lebih dalam adalah apakah pilihan bunuh diri merupakan solusi yang terbaik untuk menunjukan rasa tanggung jawab atas segala hal yang telah dilakukannya?
Lain Jepang lain pula Indonesia, di negara kita hampir tidak pernah tercatat ada seorang pejabat pemerintah yang ketahuan korupsi atau selingkuh lalu melakukan bunuh diri. Budaya kita memang tidak sama dengan budaya Jepang atau budaya Korea. Hal pertama yang ditempuh bila seorang petinggi bangsa kita terjebak soal korupsi adalah berusaha untuk menghilangkan barang bukti. Kemudian dirinya akan melakukan lobi kiri kanan sambil menyewa pengacara kondang.