Lihat ke Halaman Asli

Masturbasi Ala Mahkamah Konstitusi

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabar mengejutkan baru saja kita dengar dari Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) yang megah, di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat (13/2). Bunyi putusan dari gedung dengan 9 pilar kokoh di tampak depan, yang dibangun dengan anggaran 300 Miliar rupiah ini adalah: "MK membatalkan seluruh pasal yang ada di dalam UU No 4 Tahun 2014 tentang Mahkamah Konstitusi."

Lantas apa reaksi pemerintah? Meski hingga tulisan ini dibuat belum ada satu pun pernyataan resmi, tapi mudah ditebak. Pemerintah akan menerima keputusan MK ini. Alasannya sederhana; Ini adalah bentuk penghormatan pemerintah pada prinsip negara hukum.

Tapi tak ayal, menurut sumber terpercaya dari telik sandi di pemerintahan, Presiden SBY malam ini (13/2) menggelar rapat terbatas di Kantor Presiden, untuk membahas keputusan MK yang sangat kontroversial tersebut.

Mengapa kontroversial?

MK dibentuk sebagai ekses dari perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern yang muncul pada abad ke-20 ini. Dalam perkembangannya, ide pembentukan MK dilandasi upaya serius memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan semangat penegakan konstitusi. Sebab, semua bentuk penyimpangan, baik oleh pemegang kekuasaan maupun aturan hukum di bawah konstitusi terhadap konstitusi, merupakan wujud nyata pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat.

Intinya, MK dibentuk dengan tujuan luhur, untuk melayani rakyat, dengan memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga Negara.

Di sisi lain, dengan dibatalkannya UU No. 4 Tahun 2014 tentang MK, maka secara akademik kita perlu menyayangkan putusan yang menolak: pengawasan, sistem rekrutmen yg lebih baik dan syarat hakim yang juga lebih baik.

Belum lagi, khusus untuk pembatalan syarat hakim konstitusi bukan anggota parpol 7 tahun sebelum menjadi calon hakim MK, ada inkonsistensi atas sikap MK. Karena dalam putusan yg lain, MK mensyaratkan independensi KPU dan Bawaslu harus lebih kuat, dengan syarat tidak menjadi anggota parpol 5 tahun sebelum dicalonkan.

Eksesnya, dengan pembatalan UU No. 4 Tahun 2014 ini, maka tidak hanya kredibilitas MK yang dipertaruhkan, tetapi juga sengketa hasil pemilu 2014 yang menjadi kewenangan MK untuk mengadilinya.

Dus, keputusan pembatalan ini merupakan bentuk pemuasan diri MK terhadap dirinya sendiri, bukan untuk rakyat, sebagaimana yang diamanatkan dalam tujuan pembentukan MK itu sendiri.

Jika demikian, apa yang bisa kita harapkan dari MK?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline